Optika.id - Diskusi yang digelar Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita bertajuk "Jokowi-OCCRP: Whats Next?" pada Senin (13/1/2025) malam berlangsung seru dan gayeng. Diskusi tersebut menghadirkan beberapa narasumber yang ahli di bidangnya masing-masing. Salah satunya Ahli hukum tata negara dari Sekolah Ilmu Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Bivitri Susanti.
Menurutnya Mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) layak bersanding dengan pemimpin korup di dunia. Dia mengatakan Jokowi pantas disandingkan dengan pemimpin korup di dunia versi OCCRP (Organized Crime and Corruption Reporting Project) karena sudah merusak hukum konstitusi, lembaga negara, sekaligus demokrasi di Indonesia.
Baca Juga: Prabowo Disarankan Putuskan Hubungannya dengan Jokowi!
"Disebut merusak hukum konstitusi, karena Jokowi dianggap cawe-cawe lewat iparnya yang duduk sebagai Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman. Dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2003 itu Mahkamah memberikan lampu hijau kepada putra Jokowi yaitu Gibran Rakabuming Raka untuk maju menjadi calon wakil presiden 2024," kata Bivitri dalam diskusi tersebut seperti dikutip Optika.id.
Hal lain, katanya, Jokowi merestui revisi UU KPK pada 2019 yang membuat komisi antirasuah ini kian lemah. Puluhan pegawai KPK yang berintegritas juga disingkirkan lewat asesmen Tes Wawasan Kebangsaan dalam rangka alih status menjadi aparatur sipil negara.
Di masa kepemimpinan Jokowi pula, menurut Bivitri, kekerasan, persekusi, kriminalisasi, dan diskriminasi menimpa pegiat demokrasi.
"Itu yang membuat dia setara dengan semua finalis. Jadi dengan adanya publikasi dari OCCRP ini, dia (Jokowi) sudah tidak punya apa-apa lagi. Dari segi diplomasi internasional, sudah lemah. Cuma politik yang masih melindungi dia," tegasnya.
Dorong Investigasi Mendalam
Smeentara itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Periode 2015-2019, Saut Situmorang yang juga menjadi narasumber dalam diskusi tersebut mendorong investigasi mendalam terkait laporan OCCRP yang memasukkan Joko Widodo sebagai finalis nominasi tokoh kejahatan terorganisasi dan korupsi tahun 2024.
Saut menyebut, KPK bisa membuka peluang investigasi itu termasuk pengumpulan bukti-bukti yang relevan dan melibatkan kerja sama dengan OCCRP.
"Ini adalah pembelajaran buat kita. Pentingnya lembaga anti korupsi untuk kemudian merespons ini. Karena ini organisasi yang sudah berdiri cukup lama dan mereka cukup dikenal juga produk-produknya. Jadi tidak perlu ada keraguan tentang kredibilitas mereka. Tinggal persoalannya adalah mencari kekuatan buktinya," kata Saut seperti dikutip Optika.id.
"Jadi kita tidak perlu juga bantah-membantah siapapun yang disebut-sebut dalam hasil OCCRP ini. Tinggal kekuatan buktinya nanti yang akan menjadi apa yang kita sebut sebagai contoh penegakan hukum yang adil, yang pasti, dan yang bermanfaat," tambahnya.
Saut mendorong proses investigasi yang transparan, akuntabel, bebas dari konflik kepentingan. Dia mendorong peran serta OCCRP dan meminta KPK melindungi orang-orang yang melakukan upaya-upaya pemberantasan korupsi, termasuk OCCRP.
Selanjutnya, Saut juga mengingatkan penegakan hukum yang adil. Kata dia, proses hukum yang melibatkan Mantan Presiden, Jokowi ini harus sesuai dengan ketentuan soal asas praduga tak bersalah. Namun di sisi lain pencarian bukti yang adil dan tidak memihak, harus tetap berjalan.
"Nah kemudian pentingnya kerjasama OCCRP. Bekerja sama dengan OCCRP tentunya. Sebaiknya kerjasama itu ya levelnya tentu internasional agar kemudian penegakan hukum di Indonesia dapat melakukan check and balances untuk apa yang bisa dinilai oleh OCCRP ini," tambahnya.
Pesimistis Ada Pertanggungjawaban
Selain itu, Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) Zainal Arifin Mochtar soal penobatan Jokowi sebagai finalis tokoh dunia terkorup 2024 versi OCCRP.
Dia mengaku pesimistis penghargaan itu bisa berujung pada penuntutan pertanggungjawaban Jokowi di ranah hukum. Sebab, jelas Zainal, pemerintahan sekarang dipimpin Presiden Prabowo Subianto yang didampingi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi.
"Saya tidak yakin karena rezim ini adalah perpanjangan dari Jokowi, apalagi anaknya (Jokowi) ada di situ," kata Zainal seperti dikutip Optika.id.
Dosen hukum tata negara yang akrab disapa Uceng itu menjelaskan bahwa penuntutan pertanggungjawaban terhadap Jokowi baru bisa terjadi apabila terjadi pecah kongsi antara Prabowo dan Gibran. Dia mencontohkan kondisi yang terjadi di Filipina yang mana Presiden Ferdinand Marcos Jr. atau Bongbong Marcos berkonflik dengan Wakil Presiden Sara Duterte.
Zainal menilai jika Prabowo dan Gibran berpisah jalan, maka akan ada peluang untuk menjerat Jokowi secara hukum. Pemeran film "Dirty Vote" itu juga masih melihat adanya berbagai kasus yang bisa menjadi pembuka jalan untuk memeriksa Jokowi.
Lebih lanjut, Zainal turut menyoroti kualitas OCCRP sebagai lembaga yang memberikan nominasi itu kepada Jokowi. Dia mengakui organisasi itu memiliki rekam jejak yang baik sehingga penilaiannya bisa memberikan dampak.
Baca Juga: Indikator Jokowi Layak sebagai Nominator Presiden Terkorup Dunia, Apa saja Itu?
Penilaian OCCRP Miliki Dasar Kuat
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menambahkan bahwa penilaian yang dilakukan oleh Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) soal nominasi tokoh terkorup memiliki dasar yang kuat.
Isnur mengungkapkan beberapa faktor yang membuat mantan pemimpin Indonesia dua periode itu layak masuk sebagai finalis nominasi kategori Tokoh Terkorup versi OCCRP. Isnur berujar bahwa Jokowi selama menjabat telah membuat komisi antirasuah atau KPK melemah secara sistematis.
"Sekarang, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia mengalami stagnasi, bahkan tren penurunan jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang," katanya dikutip Optika.id.
Selain itu, sejumlah kebijakan yang dibuat oleh Jokowi dan pemerintahannya juga menjadi faktor. Di antaranya revisi Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Omnibus Law.
Isnur juga menyoroti tindakan Jokowi yang mengkerdilkan sistem meritokrasi.
Jokowi, katanya, selama menjabat kerap mengangkat kelompok orang yang berada di barisan pendukungnya di Pilpres untuk mengisi jabatan strategis di pemerintahan. Salah satunya sebagai petinggi di Badan Usaha Milik Negara atau BUMN. YLBHI mencatat setidaknya ada 13 relawan Jokowi dalam Pilpres 2019, yang telah menjadi komisaris BUMN.
Dia juga menyoroti kepemimpinan Jokowi yang berupaya menghidupkan kembali dwifungsi militer dan kasus represi maupun kriminalisasi terhadap warga sipil. Termasuk, proyek strategis nasional yang kerap menyengsarakan rakyat.
"Rempang Eco City, Wadas, dan Pulau Komodo adalah contohnya. Bahkan, Majelis Rakyat Luar Biasa 2024 lalu mencatat bahwa, Jokowi melegitimasi deforestasi 2 juta hektar hutan untuk proyek PSN ketahanan pangan," kata Isnur.
Dia mengatakan, faktor terakhir yang membuat Jokowi layak dinominasikan sebagai tokoh terkorup ialah nepotisme kekuasaan. Isnur mengatakan hal itu tampak terjadi di akhir masa jabatan Jokowi.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu disebut berupaya memobilisasi polisi, menteri, relawan, serta menggunakan fasilitas negara untuk memuluskan jalan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka supaya bisa berkontestasi di Pilpres 2024.
"Jokowi juga melakukan hal serupa untuk mensponsori keluarganya agar bisa maju di Pilkada 2024 dengan merevisi regulasi tentang pemilihan kepala daerah," kata Isnur.
Baca Juga: Muslim Arbi: Tak Ada Alasan Lagi Bagi KPK, Tak Panggil Jokowi dan Keluarganya
OCCRP Lembaga Kredibel
Sementara itu, Lembaga independen Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang dituding hanya melakukan voting lewat media sosial dalam menentukan tokoh terkorup di dunia tahun 2024.
Sejumlah pemimpin dunia masuk dalam nominasi finalis tokoh terkorup termasuk diantaranya adalah mantan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Penetapan Jokowi yang dinobatkan sebagai tokoh terkorup ini membuat publik di Tanah Air geger dan menimbulkan ro dan kontra.
Ada yang menyampaikan kalau OCCRP tidak kredibel dan hanya melakukan voting lewat platform media sosial X. Bahkan ada yang mengatakan OCCRP merupakan agen asing yang ingin memecah belah.
Tudingan tidak kredibel tersebut kemudian direspons oleh OCCRP. Lewat akun X miliknya, OCCRP menyampaikan penetapan nominasi tidak lewat voting. "Juri kami meninjau semua nominasi, tetapi keputusan akhir ada di tangan para juri. Ini bukan kontes popularitas," jelasnya seperti dilihat Optika.id, Selasa (14/1/2025).
OCCRP menyampaikan para juri memilih Bashar al-Assad sebagai jawara tokoh terkorup tahun ini, dengan alasan kekacauan dan kehancuran yang disebabkan oleh rezimnya di Timur Tengah.
"OCCRP adalah jaringan jurnalis di seluruh dunia. Setiap hari, kami menginvestigasi korupsi, kejahatan, dan dampaknya terhadap kehidupan dan demokrasi," tulisnya.
"Kami memiliki pengalaman yang luas dalam bekerja sama dengan para pelapor dan menangani kebocoran yang sensitif," sambungnya.
Lebih lanjut OCCRP menyampaikan kalau pihaknya melakukan investigasi ketika menyoroti adanya penyimpangan korup di suatu negara.
"Investigasi kami merupakan kolaborasi global. Jurnalis OCCRP mengungkap korupsi, melacak aliran uang lintas batas, dan membongkar transaksi keuangan yang rumit," tutupnya.
Editor : Pahlevi