Optika.id - OCCRP (Organized Crime and Corruption Reporting Project) menetapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Periode 2014-2024, sebagai nominator ke-2 sebagai tokoh terkorup dunia, maka muncul berbagai kontroversial di Indonesia. Ada yang pro dan kontra. Kelompok yang pro menganggap penetapan Jokowi sebagai nominator presiden terkorup dunia itu sebagai hal yang obyektif, masuk akal, dan harus dihormati lantaran OCCRP adalah Lembaga dunia yang independen.
Kelompok yang kontra menganggap OCCRP telah melakukan Framing jahat kepada Jokowi, tidak ada bukti dan dasarnya, dan ditetapkan oleh lembaga yang tidak kredibel. Mereka menyerang OCCRP di media sosial secara emosional dan mengarah ke mendiskreditkan OCCRP.
Baca Juga: Beri Presiden Kesempatan Penuh
Berbagai Lembaga kredibel dan tokoh kritis Indonesia memberi ukuran, indikasi, dan data tentang arah Jokowi telah melakukan "korupsi" secara institusional, terhadap institusi demokrasi, hukum, ekonomi, sosial, dan politik untuk kepentingan diri dan keluarganya. Di bawah ini beberapa lembaga dan tokoh kritis memberi makna tentang sebutan OCCRP kepada Jokowi sebagai nominasi presiden terkorup di dunia.
Majalah Tempo, lewat podcast Bocor Alus Politik, mengaku ikut memberi masukan OCCRP (Organized Crime and Corruption Reporting Project) untuk menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) Periode 2014-2024 sebagai salah satu tokoh dunia terkorup 2024, podcast Bocor Alus Politik, Tempodotco, episode ke 106, Sabtu (11/1/2025).
Sebagian penilaian Tempodotco terhadap Jokowi dituangkan dalam Edisi Khusus menjelang berakhirnya masa jabatan Jokowi sebagai presiden. Majalah Tempo pada Senin, 29 Juli 2024, membuat Edisi Khusus, mengeluarkan laporan jurnalistik dengan judul Nawadosa Jokowi. Dalam Nawadosa Jokowi ada sekitar 18 dosa Presiden Jokowi, yaitu:
1. Membangun dinasti politik. Memaksakan anak dan menantu menduduki kekuasaan politik, meskipun dilakukan dengan intimidasi politik dan menabrak aturan hukum. Di samping itu menjalin kekuasaan dan memperkuat oligarki dalam mempengaruhi kekuasaan dan tata pemerintahan negara.
2. Melemahkan institusi demokrasi. Mulai pembungkaman orang-orang yang kritis terhadap rezim dan negara melalui Undang Undang ITE hingga cawe-cawe dalam pemilu
3. Memberi akses dan fasilitasi TNI ke ranah sipil. Membuka kembali akses politik untuk masuknya TNI (Tentara Nasional Indonesia) untuk ikut dalam peran urusan sipil. Tidak hanya TNI namun juga apparat kepolisian menjadi institusi atau isntrumen Jokowi untuk melemahkan demokrasi.
4. Konflik Papua tak pernah selesai.
5. Runtuhnya sistem Pendidikan
6. Watak patron-klien kepolisian. Memperkuat Geng Solo di Trunojoyo
7. Politisasi Kejaksaan
8. Pelemahan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
9. Kegagalan penanganani pelanggaran HAM berat
10. Karut marut mengelola APBN. Berbagai dana digunakan untuk kepentingan politik, pencitraan, infrastruktur, dan bantuan sosial secara ugal-ugalan, seenak keinginan Jokowi.
11. Runtuhnya independensi BI
12. Ketergantungan pada utang China
13. Pemaksaan IKN (Ibu Kota Negara). Ambisi hampa di IKN (dengan menampilkan tindakan gimik-gimik)
14. Gimik diplomasi luar negeri
15. Kerusakan Lingkungan
16. Konflik agrarian
17. Kriminalisasi atas nama PSN (Proyek Strategis Negara). Jokowi secara otoriter menetapkan proyek masuk PSN tanpa ada konsultasi dengan berbagai komponen masyarakat. hal itu disebut Tempo sebagai fasilitas untuk para oligarki.
18. Kebebasan sipil menyempit
Dosa Jokowi Menurut Eep Saefulloh Fatah
Sementara itu menurut Eep Saefulloh Fatah ada sekitar 5 dosa Jokowi yaitu:
(1) memberangus KPK,
(2) Jokowi, atau orang-orang sekelilingnya atau aparatur negara, semakin tidak sabar menghadapi orang orang kritis. Mereka yang kritis dibungkam dengan menggunakan Undang Undang ITE.
(3) Jokowi melakukan pembiaran politisasi berlebihan aparatur negara,
(4) memproduksi Undang Undang Cipta Kerja. Dan
(5) eksekusi proyek IKN secara tergesa-gesa (Podcast Eep Saefulloh Fatah dalam Keep Talking, 21 September 2024).
Menurut Eep saat periode pertama rezim Jokowi, 2014-2019, disebut Periode Joko. Suatu periode rezim Jokowi yang masih bagus, tetapi Periode Kedua, 2019-2024, disebutnya sebagai Periode Widodo. Suatu periode buruk, otoritarian dan akhir periode yang penuh kegelisahan, intervensionis, dan melemahkan demokrasi.
Ada perbedaan antara Periode Joko dan Periode Widodo. Ada ketegangan antara Periode Joko dan Widodo. Di ujung Periode Widodo muncul bau nepotisme, berbentuk politik dinasti. Jokowi dianggap menabrak aturan dengan memaksakan anaknya yang belum cukup umur untuk menjadi calon wakil presiden, Gibran Rakabumi Raka.
Menjadikan Gibran sebagai wakil presiden dengan politik cawe-cawe yaitu ikut campurnya birokrasi, aparat kepolisian, dan TNI, dan dibantu dengan dana bantuan sosial (bansos) triliunan rupiah untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran dalam pemilu 2024.
Said Didu Si Manusia Merdeka
Mantan Sekretaris BUMN (Badan Usaha Milik Negara) Muhammad Said Didu menjawab tantangan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, dan membeberkan 5 klaster dugaan korupsi yang dilakukan orang tua dari Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka itu.
Menurut Said Didu, bangsa Indonesia bagaikan kena petir di siang bolong ketika Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) mengumumkan bahwa Jokowi menjadi salah satu tokoh terkorup dunia 2024.
"Banyak yang kaget, tapi saya salah seorang yang tidak kaget, karena saya memang menduga bahwa korupsi Indonesia selama pemerintahan Presiden Jokowi memang sangat-sangat marak," kata Said Didu di akun X nya seperti dikutip Optika.id, Senin (6/1/2025).
Said Didu pun merespons beberapa pertanyaan yang dilontarkan Jokowi ketika memberikan klarifikasi atas apa yang dirilis OCCRP.
"Dan saya akan menantang, tantangannya ada empat. Satu, silahkan buktikan. Dua, apa yang saya korupsi. Tiga, ini framing jahat. Yang keempat, agar ini diproses hukum saja. Nah, itu kita sekarang mau bantu rakyat untuk mengetahui apakah betul Presiden Jokowi melakukan korupsi seperti yang dituduhkan tersebut," terang Said Didu.
Said Didu lantas menyebut bahwa dirinya sudah merangkum 5 klaster korupsi yang dilakukan Jokowi.
Klaster pertama, kata Said Didu, adalah korupsi yang ditujukan untuk mendapatkan kekuasaan dan melanggengkan dinasti.
"Ini banyak contoh yang terjadi tentang hal ini. Masih ingat dulu kasus tentang ditutupnya kasus pelanggaran hutan, kemudian 3,3 juta hektare sawit, itu hilang begitu saja. Nah, itu saya punya keyakinan bahwa ini ada kaitan dengan untuk melanggengkan kekuasaan sehingga perlu untuk meredam kasus-kasus besar dan bisa terjadi negosiasi di balik pintu," tutur Said Didu.
Klaster kedua adalah dengan memenjarakan lawan politik, namun melindungi kawan politik. Seperti kasus impor garam, minyak goreng, BTS, yang menguap begitu saja.
Klaster ketiga adalah terkait ambisi pribadi Jokowi. Said Didu menyebut ada subklaster terkait hal tersebut, yakni terkait legasi seakan-akan Jokowi berhasil, tetapi malah merugikan rakyat. Seperti membangun kereta api cepat, membangun infrastruktur yang sangat mahal yang menyebabkan BUMN dan rakyat rugi.
"Membangun IKN dan membangun bandara-bandara yang tidak sama sekali dibutuhkan demi ambisi pribadi Jokowi. Ambisi pribadi kedua adalah terkait dengan keluarga, masih ingat kita terkait dengan kasus penyelundupan nikel yang disebutkan oleh almarhum Faisal Basri yang melibatkan Airlangga Hartarto dan Bobby Nasution, kemudian kasus blok Medan," jelas Said Didu.
Klaster keempat adalah penggunaan uang negara untuk menyogok rakyat. Said Didu menyebut, utang negara digunakan untuk bansos pencitraan dalam rangka menyogok rakyat.
Klaster kelima atau yang terakhir adalah korupsi dengan menyogok oligarki yang menjadi penyokong utama kekuasaan Jokowi dan dinastinya.
"Merekalah yang mendapatkan fasilitas di berbagai tempat, di pertambangan, di perkebunan, di macam-macam untuk melanggengkan kekuasaan Presiden Jokowi. Nah ini puncaknya adalah pemberian PSN (kepada oligarki) di berbagai tempat dan fasilitas-fasilitas lain, sangat jelas bahwa itu merugikan negara, merugikan rakyat. Anda bayangkan contoh kasus PIK 2 rakyat dipaksa dengan status PSN, dan Rempang juga demikian," bebernya.
Said Didu pun curiga jika OCCRP memiliki data lengkap tentang korupsi yang dilakukan Jokowi dan disembunyikan di luar negeri.
"Ini yang paling waswas. Kalau itu terjadi, maka memang kita anggap bahwa siapa tahu OCCRP menyelamatkan negeri ini dengan membuka selebar-lebarnya korupsi yang sudah terjadi selama pemerintahan Jokowi, tunggu edisi berikutnya," tukasnya.
Pendapat Said Didu tersebut viral di X usai mendapat 1.200 retweet dan ribuan tanda suka dari netizen.
Dosa-Dosa Jokowi Ala Anthony Budiawan
Sementara itu, terdapat sejumlah "dosa" besar Presiden Joko Widodo yang tidak bisa dimaafkan meskipun telah meminta maaf kepada publik.
Managing Director Political Economy and Policy Studies Anthony Budiawan mengatakan, Jokowi terindikasi menetapkan UU dengan melanggar konstitusi, antara lain UU Ibu Kota Negara (IKN), UU Cipta Kerja, dan Perppu (UU) Covid-19.
Ada dua konsekuensi atas pelanggaran konstitusi tersebut. Pertama, Kalau terbukti melanggar konstitusi, maka pelanggar konstitusi termasuk kategori pengkhianat negara, sesuai definisi di penjelasan Pasal 169 huruf d, UU tentang Pemilu.
Kedua, Kalau pelanggaran konstitusi mengakibatkan kerugian keuangan negara, maka termasuk tindak pidana korupsi dan diancam pidana.
"Oleh karena itu, aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti apakah dugaan masyarakat benar, bahwa antara lain UU IKN, UU Cipta Kerja, UU (Perppu) Covid-19 melanggar konstitusi, dan apakah merugikan keuangan negara," kata Anthony dalam akun X nya seperti dikutip Optika.id, Senin (6/1/2025).
Anthony menjelaskan, konsep otorita dalam UU IKN diduga melanggar konstitusi Pasal 18. Karena, menurut pasal 18, bentuk pemerintah daerah adalah provinsi, kabupaten dan atau kota, dengan kepala daerah masing-masing dinamakan gubernur, bupati atau walikota, yang dipilih secara demokratis, dan mempunyai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang juga dipilih secara demokratis.
Maka itu, pemerintah daerah dalam bentuk otorita, dengan kepala daerah dinamakan kepala otorita, yang diangkat oleh presiden, serta tidak mempunyai Dewan (DPRD), secara nyata melanggar konstitusi.
"Sebagai konsekuensi, anggaran negara (APBN) yang dikeluarkan untuk Otorita IKN, kemungkinan besar, merugikan keuangan negara, dan karena itu diancam pidana," kata Anthony.
Kemudian, UU (Perppu) Cipta Kerja terindikasi juga melanggar konstitusi, karena pada akhir tahun 2022 tidak ada kegentingan memaksa yang dapat dijadikan dasar penetapan Perppu Cipta Kerja.
"Dalam hal ini, Jokowi diduga melakukan manipulasi faktor "kegentingan memaksa"," kata Anthony. Selain itu, penetapan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menggunakan UU Cipta Kerja sebagai dasar hukum, juga melanggar konstitusi, yaitu melanggar Hak Asasi Manusia, Pasal 28H.
"Khususnya, apabila penetapan PSN digunakan sebagai dasar untuk mengusir masyarakat setempat secara paksa, seperti yang sedang terjadi di PIK 2," sambungnya.
Pasal 28H ayat (1) UUD berbunyi: setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Pasal 28H ayat (4) UUD berbunyi: setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Anthony menambahkan, jika dugaan pelanggaran konstitusi seperti dijelaskan terbukti, dan mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, maka Jokowi dapat dicap sebagai pengkhianat negara, dan dapat diancam pidana.
"Permintaan maaf Jokowi tidak bisa menghapus kesalahan pidana tersebut," tukasnya.
Indikator Menurut YLBHI LBH
Menutup tahun 2024, salah satu organisasi nirlaba bernama Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) merilis daftar nominasi orang-orang yang dinilai berkontribusi besar dalam memperburuk kejahatan terorganisir dan korupsi. Presiden ketujuh Indonesia, Joko Jokowi Widodo masuk ke dalam daftar nominasi tersebut.
YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) memandang bahwa label tokoh paling koruptif sepanjang tahun 2024 yang dirilis oleh OCCRP memiliki dasar kuat. YLBHI melihat setidaknya ada 10 faktor Jokowi layak disebut sebagai koruptor.
1. Pelemahan KPK Secara Sistematis
Di tahun 2014, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia menyentuh angka 34 setelah mengalami tren kenaikan gradual dari 17 di tahun 2000. Sekarang, indeks ini mengalami stagnasi bahkan tren penurunan jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang lepas landas lainnya. Di tanggal 13 Februari 2019, sebanyak sembilan fraksi di DPR menyetujui Revisi UU KPK, dengan begitu lembaga anti rasuah ini tidak lagi menjadi lembaga independen, karena kelembagaannya berada di bawah presiden.
Berbarengan dengan revisi tersebut, Komisi III DPR pada 12 September 2019, memilih Firly Bahuri sebagai Ketua KPK periode 2019-2023 dengan mendapatkan 56 suara. Karena revisi ini, para pegawai KPK kemudian perlu berubah status menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dampaknya, pada 25 Mei 2021, sebanyak 51 pegawai KPK dinyatakan tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan dan diberhentikan.
2. Revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (2020)
Selain dalam proses pembentukannya tidak melibatkan partisipasi publik secara bermakna, LBH Padang (2020) mencatat ada empat poin krusial dalam revisi ini.
Pertama, sentralisasi penguasaan Mineral dan Batubara, yang menyebabkan akses masyarakat untuk memperjuangkan hak-haknya dan kontrol masyarakat terhadap penguasaan pertambangan.
Kedua, perpanjangan otomatis Kontrak Karya dan PKP2B mengabaikan proses evaluasi dan menghilangkan partisipasi masyarakat terdampak dalam pengambilan keputusan.
Baca Juga: Kasus Korupsi DJKA, Rocky: Rezim Jokowi Manfaatkan Kekuasaan Buat Kepentingan Pribadi dan Politik
Ketiga, tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang untuk wilayah pertambangan, yang akan mengganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan yang sudah terlampaui, ditakutkan akan berdampak pada bencana alam akibat eksploitasi berlebihan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Keempat pasal kriminalisasi masyarakat yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan, yang berpotensi menjadi pasal karet untuk membungkam perjuangan masyarakat di sekitar tambang yang terampas ruang hidupnya.
YLBHI juga mencatat pasca regulasi tersebut direvisi terjadi kenaikan investasi yang menyasar sektor sumber daya alam. Produksi nikel meningkat secara gradual, surplus target batubara nyatanya berbanding terbalik dengan serapan pendapatan negara selama setidaknya tiga tahun terakhir (2022 2024).
3. Omnibus Law dan Pengabaian Check and Balances
Publik masih mengingat bahwa draft RUU Omnibus Law lahirnya dari Istana. Jokowi kala itu meminta DPR untuk mengesahkan dalam kurun waktu 100 hari. Di tengah penolakan keras dari rakyat, aliansi Legislatif dan Yudikatif menutup telinga dan matanya untuk mendengarkan aspirasi.
Bahkan, Jokowi membuat pernyataan intimidatif yang meminta BIN dan Polri mendekati kelompok masyarakat yang menolak paket kebijakan sapu jagat tersebut serta mengerahkan kepolisian untuk melakukan represi sistematis terhadap massa aksi di beberapa kota. Omnibus Law berakhir disahkan, namun dibatalkan oleh MK dengan syarat perlu melakukan revisi dengan prinsip partisipasi bermakna.
Jokowi tidak mendengarkan putusan tersebut, namun malah membangkan dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) dengan substansi yang sama tanpa menyerap aspirasi rakyat.
4. Rezim Nihil Meritokrasi
Merupakan rahasia umum bahwa selama Jokowi menjabat, ia mengangkat beberapa individu yang mendukungnya dalam Pilpres masuk ke jabatan-jabatan spesial. Setidaknya, terdapat 13 relawan Jokowi dalam Pemilu 2019 telah menjadi komisaris BUMN.
Mereka adalah Rizal Mallarangeng, Lukman Edy, Zulnahar Usman, Arya Sinulingga, Arief Budimanta, Irma Suryani Chaniago, Dudy Purwagandhi, Fadjroel Rachman, Andi Gani Nena Wea, Ukin Niam Yusron, Eko Sulistyo, Dyah Kartika Rini, Kristia Budiyarto.
Ditempatkannya orang-orang dekat Jokowi menunjukan praktik reformasi birokrasi dengan skema meritokrasi hanya jargon belaka.
5. Menghidupkan Kembali Dwifungsi Militer
Dwifungsi ABRI di Indonesia adalah sejarah lambang kekuasaan yang korup. Di masa kekuasaannya, Jokowi mencoba kembali menghidupkan praktek tersebut. Mahkamah Rakyat mencatat beberapa poin penting yang dapat menunjukkan kembalinya praktek ini.
Pertama, melalui pengesahan Undang-undang No. 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara. Di undang-undang ini jabatan sipil yang dapat diisi oleh militer aktif diperluas.
Kedua, menempatkan 29 anggota TNI aktif menjabat secara ilegal di luar ketentuan UU TNI. Ini menyebar dari pemerintah pusat hingga mengisi posisi Pj kepala daerah.
Ketiga, memberikan proyek food estate kepada Kementerian Pertahanan yang akhirnya melegitimasi tentara untuk berbisnis.
6. Badan Usaha Milik Negara menjadi Badan Usaha Milik Relawan
Erick Thohir melakukan perombakan pejabat perusahaan BUMN Eselon I. Ia menjelaskan tindakan tersebut merupakan arahan dari Jokowi. Dalam prakteknya, perombakan tersebut sarat akan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan melanggar Asas-Asas Pemerintahan Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) karena banyak pejabat perusahaan BUMN yang merangkap jabatan.
Rangkap jabatan ini dilegitimasi dengan dirombaknya kebijakan yang awalnya melarang menjadi diperbolehkan. Beberapa pejabat perusahaan di BUMN tercatat juga melakukan rangkap jabatan. Tercatat Carlo B Tewu diangkat sebagai Deputi Bidang Hukum dan Perundang-Undangan.
Tewu, diangkat ketika dirinya masih menjabat sebagai Irjen Polri tanpa harus mengundurkan diri terlebih dahulu. Saat ini Tewu juga tercatat sebagai Komisaris PT Bukit Asam Tbk, sebuah perusahaan batu bara yang dijalankan oleh swasta. Ada juga bagi-bagi jabatan dilanjutkan oleh Erick, dengan mengangkat Bambang Sunarwibowo seorang perwira aktif Polri dan Sekretaris Utama Badan Intelijen Negara sebagai Komisaris PT Aneka Tambang Tbk, pada 11 Juni 2020.
7. Intelijen untuk Kepentingan Politik
Jokowi juga memberikan posisi kepada relawannya dalam Pilpres kepada Diaz Hendropriyono dan Gories Mere sebagai staf khusus intelijen istana. Presiden adalah orang, bukan institusi yang kaderisasinya berjalan berjenjang.
Diaktifkannya intelijen istana di masa Jokowi dimanfaatkan dengan baik olehnya sebagai alat untuk memperkuat posisi politiknya.
Publik mengingat bahwa Jokowi pernah menyampaikan bahwa dirinya memiliki semua isi dapur partai politik yang dikumpulkan dari kerja-kerja intelijen. Dampaknya, tak hanya satu partai politik yang sempat diacak-acak oleh Jokowi dan gerbongnya. Diaz, ketika itu juga merupakan komisaris PT Telkomsel dan komisaris PT M Cash Integrasi Tbk.
8. Represi dan Kriminalisasi
Di antara dilahirkannya kebijakan-kebijakan tidak demokratis, serta politik bagi-bagi jabatan, rezim Jokowi membentengi ruang demokrasi rakyat dengan represi yang tiada henti. Aksi penolakan Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan direspon dengan penangkapan yang menimpa 22 buruh, 1 mahasiswa, dan 2 pengabdi bantuan hukum LBH Jakarta pada 2015.
Di tahun yang sama pula 49 orang dikriminalisasi setelah mencoba untuk mengungkap kasus korupsi Budi Gunawan. Salah satunya adalah Bambang Widjojanto.
Di tahun 2019, LBH-YLBHI mencatat bahwa setidaknya terdapat 6.128 masyarakat sipil yang menjadi korban pelanggaran kebebasan berpendapat di muka umum. Di Papua, gerakan di Papua dan Papua Barat yang menentang rasisme aparat kepolisian dan tentara terhadap rakyatPapua di Surabaya direspon dengan pengerahan 6.500 personel Brimob dan tentara. Sebanyak 1.013 orang ditangkap dan 61 orang tewas.
Di tahun selanjutnya, gerakan Anti-Omnibus Law direspon dengan represi sistematis setidaknya terdapat 5.918 orang ditangkap secara sewenang-wenang dan 480 orang dikriminalisasi. Menjelang lengser keprabon, agenda Jokowi meloloskan anaknya untuk maju dalam Pilkada direspon oleh gerakan masyarakat sipil dengan aksi massa di 44 daerah12 titik aksi di antaranya direspon dengan represi.
YLBHI dan jaringan mencatat setidaknya terdapat 333 massa aksi yang menjadi korban dengan berbagai macam bentuk serangan dari polisi, aparat berbaju bebas, dan tentara. Bentuk-bentuk serangan tersebut di antaranya adalah doxing, perampasan aset, penganiayaan, perburuan, penangkapan sewenang-wenang, kriminalisasi, penghilangan paksa dalam waktu singkat, hingga penghalang-halangan pendampingan hukum.
9. Proyek Strategis Nasional
Merampas ruang hidup rakyat
Banyak langkah korup yang dilakukan oleh rezim Jokowi untuk memperlancar apa yang hari ini biasa kita sebut sebagai Proyek Strategis Nasional.
Pertama, Jokowi membuat pondasi kebijakan: Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2015 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, PP No. 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dan segala revisinya, serta Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.
Kebijakan ini dalam banyak praktek bisnis, dijadikan sebagai stempel untuk memuluskan proses pembebasan lahan. Rempang Eco City, Wadas, dan Pulau Komodo adalah contohnya. Bahkan, Majelis Rakyat Luar Biasa 2024 lalu mencatat bahwa, Jokowi melegitimasi deforestasi 2 juta hektar hutan untuk proyek PSN ketahanan pangan.
10. Nepotisme Kekuasaan
Di akhir masa jabatannya, Jokowi mencoba segala cara dengan memobilisasi polisi, menteri, dan para relawannya, serta menggunakan fasilitas negara (bantuan sosial) untuk mengamankan posisi anaknya memenangkan kursi Wakil Presiden dalam Pilpres 2024.
Tidak berhenti di situ, Jokowi juga terlihat mensponsori menantu, dan anaknya maju dalam pemilihan kepala daerah dengan sekali lagi mencoba untuk merevisi Undang-undang Pilkada.
Baca Juga: Prabowo Disarankan Putuskan Hubungannya dengan Jokowi!
Bobby Nasution (menantu Jokowi) yang hendak maju menjadi calon Gubernur Sumatera Utara; Ahmad Luthfi (geng Solo) hendak menjadi calon Gubernur Jawa Tengah; Sendi Ferdiansyah (sekretaris pribadi Iriana Jokowi) hendak menjadi Wali Kota Bogor; dan Khofifah Indar (timses Prabowo-Gibran) sebagai calon Gubernur Jawa Timur.
Upaya penempatan orang-orang terdekat Jokowi seperti ini, dibarengi dengan santernya usulan percepatan pelaksanaan Pilkada 2024, dengan merevisi UU Pilkada.
Melalui surat presiden, Jokowi meminta bahwa revisi Undang-Undang Pilkada, di antaranya memuat dimajukannya pelaksanaan Pilkada dari jadwal awalnya, yaitu pada bulan November 2024, menjadi September. Artinya, satu bulan sebelum Jokowi lengser keprabon.
YLBHI melihat adanya beberapa indikasi tipe korupsi yang dilakukan oleh Jokowi, yang meliputi;
(1) Political bribery yang melibatkan pembuatan Undang-undang yang disesuaikan dengan kepentingan pemberi kekuasaan ini terlihat dalam upaya perombakan kebijakan yang melarang rangkap jabatan;
(2) Political kickbacks yang 2 merupakan sistem kontrak yang menguntungkan pengusaha dan pemangku kebijakan, ini terlihat jelas dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja;
(3) Election fraud yang berkaitan dengan kecurangan saat pemilihan umum, ini dilakukan dengan memobilisasi para menteri dan kepolisian untuk terlibat dalam kampanye Pilpres 2024;
(4) Corrupt Campaign Practice, dimana seseorang menggunakan fasilitas-fasilitas negara untuk kepentingan kampanye politiknya, terlihat dalam pengadaan bantuan sosial dan pembagiannya dilakukan menjelang Pilpres 2024;
(5) Discretionary corruption membuat kebijakan-kebijakan yang mementingkan kepentingan pribadi dengan kekuasaan yang dimiliki, terlihat ketika Jokowi berupaya untuk melanjutkan kekuasaan 3 periode dan upaya untuk memajukan waktu pelaksanaan Pilkada 2024;
(6) Illegal Corruption yaitu korupsi yang dilakukan dengan mengobrak-abrik hukum dan bahasa hukum, yang memiliki potensi digunakan oleh aparat penegak hukum, kami sering melihatnya dalam tindakan-tindakan kriminalisasi dan represi terhadap rakyat yang menggunakan haknya bersuara dianggap melawan aparat, merusak fasilitas umum, dan melanggar ketertiban; Ideological Corruption yang merupakan penggabungan dari Discretionary corruption dan Illegal Corruption; dan Mercenary Corruption atau menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.
Respon Jokowi
Presiden ke-7 RI, Joko Widodo mempertanyakan dasar OCCRP menempatkannya sebagai finalis. "Ya terkorup itu terkorup apa? Yang dikorupsi apa? Ya dibuktikan saja," ujar Jokowi ketika ditemui awak media di kediamannya di Sumber, Kecamatan Banjarsari, Kota Solo, Jawa Tengah, Selasa (31/12/2024) dilansir tempo.co.
Ia menyatakan saat ini banyak sekali beredar fitnah, framing jahat, serta tuduhan-tuduhan yang mengarah padanya tanpa ada bukti.
"Ya sekarang kan banyak sekali fitnah, framing jahat banyak sekali tuduhan-tuduhan tanpa ada bukti. Itu terjadi sekarang ini," kata Jokowi.
Soal kemungkinan nominasi itu bermuatan politis, Jokowi menyebut framing jahat bisa dilakukan dengan apa saja. "Orang kan bisa memakai kendaraan apapun, bisa pakai NGO, partai, atau ormas untuk menuduh, membuat framing jahat, membuat tuduhan jahat-jahat seperti itu ya, gitu ya," ucap dia menutup wawancara.
Sekretaris Jenderal Projo Handoko mengatakan penilaian OCCRP tersebut keliru dan tak punya dasar yang jelas. Dia mengatakan, selama menjabat, Jokowi telah melakukan upaya penegakan hukum dan memberikan dampak positif bagi pembangunan.
"Tingkat kepercayaan publik pun tinggi terhadap Pak Jokowi sampai sekarang. Kenapa pendapat rakyat Indonesia bisa diabaikan begitu saja," ujar dia.
Selain itu, Handoko mengatakan Jokowi juga proaktif dalam menindak kasus korupsi, termasuk yang dilakukan oleh para menteri. Dia mengatakan banyak menteri yang jadi tersangka korupsi tetap ditindak. "Banyak contoh menteri yang ditangkap semasa Jokowi menjadi Presiden, termasuk yang dari PDIP," pungkas Handoko.
Saran Rocky Gerung
Selain itu, Presiden Prabowo Subianto disarankan untuk tindaklanjuti penobatan Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) sebagai salah satu tokoh terkorup versi OCCRP.
Pengamat politik Rocky Gerung menyampaikan, hal tersebut dinilai penting untuk menjawab tekanan internasional serta membuktikan sanggahan pendukung Jokowi yang menganggap temuan OCCRP sebagai hoaks.
Akibat dari tudingan itu, menurut Rocky, juga bisa berdampak terhadap ketidakstabilan politik dalam negeri.
"Kita mulai membaca tekanan internasional itu akhirnya harus dijawab oleh presiden Prabowo. Kalau kita dengar bagaimana Channel News Asia itu akhirnya menganggap bahwa ada tuntutan publik supaya Jokowi diadili, poster-poster di Jakarta itu banyak betul sekarang beredar," kata Rocky, dikutip Optika.id dari tayangan video pada kanal YouTube pribadinya, Senin (6/1/2025).
Berbagai media asing, seperti CNN serta Channel News Asia bahkan ada yang turut memberitakan bahwa Kapolri dituntut untuk mulai memproses tuduhan korupsi oleh Jokowi.
Rocky berpandangan, kalau tindakan itu patut dilakukan agar tidak terjadi kabar simpang siur terhadap isu tersebut. Sekaligus upaya klarifikasi atas penobatan itu.
Tulisan: Aribowo
Editor : Pahlevi