Optika.id - Satu persatu borok Presiden Joko Widodo, yang memerintah sejak 2014-2024, terungkap oleh masyarakat dunia. Joko Widodo (Jokowi) Presiden ke-7 Indonesia, oleh OCCRP (Organized Crime and Corruption Reporting Project) dimasukkan dalam daftar finalis tokoh dunia yang dianggap bersentuhan dengan kejahatan terorganisasi dan korupsi Tahun 2024.
Laman OCCRP hari Selasa, 31 Desember 2024, telah menempatkan Presiden Suriah yang telah terguling itu, Bashar Al Assad, dinobatkan sebagai Tokoh dunia yang melakukan kriminalisasi organisasi dan korupsi di negara tersebut ditahun 2024. Penilaian itu dikumpulkan dan diorganisir oleh para jurnalis dan dari opini pembaca.
Di luar nama Bashar Al Assad yang baru-baru ini digulingkan, ada lima tokoh dan pemimpin negara masuk nominasi dan mendapat suara terbanyak di bawah Bashar Al Assad, diantaranya ada Presiden Jokowi.
"Para finalis yang memperoleh suara terbanyak tahun ini adalah Presiden Kenya, William Ruto; mantan Presiden Indonesia, Joko Widodo; Presiden Nigeria, Bola Ahmed Tinubu; mantan Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina; dan pengusaha India, Gautam Adani," demikian laporan OCCRP.
Selama 10 tahun memimpin Indonesia, Jokowi kerap dihadapkan berbagai gugatan ke pengadilan hingga beberapa tuduhan dugaan kejahatan. Gugatan dan tuduhan ini makin kencang di akhir masa jabatannya sebagai Presiden Indonesia.
Di awal tahun 2024, Jokowi digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait dugaan nepotisme. Gugatan dilayangkan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dengan nomor 11/G/TF/2024/PTUN.JKT pada Jumat 12 Januari 2024.
Dugaan nepotisme ini menyangkut pencalonan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden pada Pilpres 2024.
Di akhir September 2024, Jokowi juga digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat oleh Tim Advokasi Masyarakat Anti Kebohongan (TAMAK) atas perbuatan melawan hukum. Tak tanggung-tanggung, Jokowi diminta mengembalikan kerugian materiil sebesar Rp 5.246 triliun ke kas negara.
Kemudian di pertengahan tahun 2024, Jokowi dinyatakan terbukti bersalah melanggar hak konstitusi rakyat oleh Mahkamah Rakyat Luar Biasa. Jokowi diadili oleh 9 Majelis Hakim Rakyat melalui mekanisme pengaduan konstitusional (constitutional complaint) atas sederet kasus yang disampaikan 9 pengadu, didukung keterangan 6 saksi dan 4 ahli pada 25 Juni 2024.
Ada sembilan dosa atau disebut juga sebagai nawadosa yang diadukan, di antaranya masalah sosial, politik, lingkungan, keamanan, budaya hingga ekonomi. Alasannya, masyarakat resah dan marah atas tindakan aktif pemerintah dalam pelanggaran hak konstitusional, seperti normalisasi terhadap KKN, pembangunan Rempang Eco City, PLTP Ulumbu 5-6 Poco Leok, Bandara Kulon Progo, reklamasi Teluk Jakarta, eksplorasi nikel dan beberapa lainnya.
Di bulan Juni itu juga, Political Economy and Policy Studie (PEPS) mengungkap sejumlah kejahatan ekonomi yang dilakukan Pemerintahan Jokowi, mulai dari Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang yang dianggap telah menggusur rakyat.
Kemudian proyek IKN yang dianggap melanggar konstitusi hingga proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Proyek-proyek ini menimbulkan beban baru, akibat bengkaknya biaya pembangunan, utamanya dari unsur bunga.
Kenapa proyek China dipilih? Karena tidak perlu jaminan APBN. Belum kalau kita bicara korupsi. Korupsi nikel, ilegal. Itu adalah aktornya, aktor utamanya itu adalah orang yang sukarelawan Jokowi dari 2014 dan 2019," kata Managing Director PEPS, Anthony Budiawan, 27 Juni 2024, CNN Indonesia, Selasa, 31/12/2024.
Catatan Kompas
Dirunut oleh Kompas.com bahwa indeks persepsi korupsi Indonesia naik-turun selama pemerintahan Jokowi. diakuinya daftar finalis kategori kejahatan organisasi dan korupsi yang dirilis OCCRP merupakan cermin naik-turunnya indeks persepsi korupsi di Indonesia selama Jokowi menjabat sebagai presiden pada 2014-2024.
Indeks persepsi korupsi adalah tingkat persepsi atau anggapan masyarakat mengenai korupsi yang terjadi pada jabatan publik dan politik dengan skala 0-100. Semakin tinggi nilai persepsi korupsi sebuah negara artinya semakin rendah pula korupsi yang terjadi di negara tersebut.
Berdasarkan catatan Kompas.com, Senin (14/10/2024), indeks persepsi korupsi Indonesia berada di angka 34 pada 2014 saat Jokowi pertama kali menduduki kursi RI-1. Pada 2015, indeks persepsi korupsi Indonesia membaik setelah naik ke angka 36.
Indeks tersebut kembali mengalami perbaikan pada 2016 dan 2017 ketika nilainya mencapai 37. Indeks persepsi korupsi Indonesia naik 1-2 poin pada 2018 ke angka 38 dan 40 pada 2019. Sayangnya, Indonesia tidak mampu mempertahankan indeks tersebut setelah turun menjadi 37 pada 2020, 38 pada 2021, dan 34 pada 2022 serta 2023.
Transaksional Indeks persepsi korupsi pada 2022 dan 2023 sama dengan nilai yang diraih di tahun pertama Jokowi menjabat sebagai presiden.
Penurunan skor tersebut mayoritas diakibatkan kalau menurut TII adalah bahwa situasi korupsi politik di Indonesia tidak terbendung, dan pemerintah gagal untuk menanggulangi dan mencegah korupsi politik tersebut, kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya.
Peristiwa yang Membenamkan Jokowi
Baca Juga: Prabowo Disarankan Putuskan Hubungannya dengan Jokowi!
Ada beberapa peristiwa yang menjadi titik mundurnya pemberantasan korupsi di Indonesia selama Jokowi memerintah.
Salah satunya adalah kilatnya revisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019.
Revisi undang-undang KPK, ini benang merahnya bisa dinilai oleh publik, ada benang merah di situ, bahwa memang ada upaya dari pemerintah Presiden Jokowi untuk melemahkan KPK secara kelembagaan melalui revisi undang-undang KPK, jelas Diki.
Selain revisi UU KPK, faktor lain yang dinilai melemahkan pemberantasan korupsi adalah pemecatan puluhan pegawai KPK karena tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) ditambah pimpinan KPK pada 2019-2022 yang bermasalah.
Firli Bahuri yang menjabat sebagai Ketua KPK pada 2019-2023 sempat melakukan beberapa pelanggaran kode etik, termasuk terjerat kasus dugaan suap terhadap eks Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo.
Kasus korupsi yang terbongkar pada 2014-2024 Meski indeks persepsi korupsi Indonesia tidak pernah melebihi 40, sejumlah kasus korupsi mampu diungkap KPK selama 2014-2024. Salah satunya megakorupsi e-KTP yang merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun. Kasus ini menjerat eks Ketua Dewan Perwakilan Rakyat sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto.
PDIP Berharap KPK Turun Tangan
Guntur Romli, juru bicara Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP, mendorong KPK turun tangan merespons rilis Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang memasukkan Presiden RI ketujuh Joko Widodo (Jokowi) dalam daftar lima pemimpin paling korup di dunia.
Guntur Romli menilai laporan OCCRP bisa menjadi petunjuk bagi aparat penegak hukum seperti KPK, Kepolisian, maupun Kejaksaan. Menurut dia, KPK juga bisa bekerja sama dengan organisasi tersebut untuk memeriksa Jokowi.
"Dengan pengalaman dan jaringan KPK, tentu bisa bekerjasama dengan OCCRP untuk menyelidiki dan memeriksa," kata Guntur dalam keterangannya, CNN Indonesia, Selasa (31/12).
Menurut Guntur, KPK mestinya bisa turun tangan menyelidiki laporan tersebut. Alih-alih memeriksa kasus Sekjen Partainya, Hasto Kristiyanto, KPK kata dia mestinya menyelidiki dugaan kerugian negara selama kepemimpinan Jokowi.
Baca Juga: Jokowi Sudah Layak Disandingkan dengan Pemimpin Korup di Dunia?
Siapa OCCRP itu?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Baca Juga: Indikator Jokowi Layak sebagai Nominator Presiden Terkorup Dunia, Apa saja Itu?
OCCRP merupakan organisasi jurnalisme investigasi terbesar di dunia yang berkantor pusat di Amsterdam, Belanda. Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) adalah platform pelaporan investigasi nirlaba yang diperuntukkan lebih dari 50 media independen di seluruh dunia, yang diterbitkan lebih dari 100 investigasi setiap tahun.
Dengan mengembangkan dan memperlengkapi jaringan jurnalis investigasi global dan menerbitkan cerita mereka, OCCRP selalu mengungkap kejahatan dan korupsi sehingg masyarakat diharapkan dapat meminta pertanggungjawaban dari pihak yang berkuasa.
OCCRP didirikan pada tahun 2006 oleh jurnalis investigasi kawakan Drew Sullivan dan Paul Radu yang melihat kekuatan kolaborasi lintas negara. OCCRP kini menjadi salah satu produsen konten investigasi terbesar di dunia. OCCRP mengembangkan dan menggunakan perangkat teknologi mutakhir untuk memungkinkan investigasi berbasis data yang kolaboratif dan aman.
OCCRP menggunakan platform data investigasi yang didukung oleh perangkat lunak modern sehingga para jurnalis dapat mencari dan merujuk silang lebih dari satu miliar catatan untuk melacak hubungan dan pola kriminal serta berkolaborasi lintas batas negara secara efisien.
Tulisan: Aribowo
Editor : Pahlevi