Oleh: Ahmad Cholis Hamzah
Baca juga: Sampai Kapan US$ Menguat Terhadap Rupiah?
Optika.id - Para cerdik pandai, akademisi, budayawan, politisi, pejabat pemerintahan di Indonesia ini tentu sangat kenal dengan program beasiswa dari Amerika Serikat yang bernama Fulbright. Sebuah program yang didirikan oleh Senator J. William Fulbright pada tahun 1946. Program Fulbright tidak secara khusus ditujukan untuk memperluas partisipasi. Sebaliknya, secara konsisten bertujuan untuk memfasilitasi pertukaran antara orang-orang "terbaik dan paling cerdas" dari AS dan negara-negara mitra. Program ini kompetitif dan sangat selektif, dan alumninya termasuk sekitar 42 kepala negara, 62 pemenang Nobel, 96 pemenang Hadiah Pulitzer dan 82 jenius MacArthur.
Di Indonesia sendiri banyak tokoh-tokoh akademisi, pemerintahan dan lembaga lainnya adalah lulusan program beasiswa Fulbright, mereka itu antara lain: Prof. Amin Rais guru besar Universitas Gajah Mada dan mantan Ketua Umum Muhammadiyah; Anies Baswedan: Mantan Gubernur DKI Jakarta dan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Lalu ada Hasjim Djalal: Mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat dan tokoh yang instrumental dalam pengembangan hubungan Indonesia-Amerika Serikat; Iwan Tirta: Desainer busana Indonesia yang terkenal di dalam dan luar negeri, dikenal dengan karya-karyanya yang mengangkat kekayaan budaya Indonesia; Haji Agus Salim: Mantan Menteri Luar Negeri Indonesia yang juga dikenal sebagai seorang diplomat dan intelektual; Hassan Shadily: Mantan Rektor Universitas Indonesia dan tokoh pendidikan yang berpengaruh; Nasaruddin Umar: Mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta dan tokoh agama yang berpengaruh yang sekarang menjadi Menteri Agama; Prof. Dien Syamsuddin: Mantan Ketua Umum Pimpinan Muhammadiyah; Budi Darma: Mantan Rektor IKIP Surabaya dan tokoh pendidikan; Prof. Mochtar Kusumaatmadja: Mantan Menteri Luar Negeri dan tokoh hukum; Rudi Hartono: Mantan pemain bulutangkis profesional dan tokoh olahraga; dll dll.
Lalu baru-baru ini ada berita yang mengejutkan bagi dunia pendidikan di Amerika Serikat dan dunia ketika Presiden Donald Trump membubarkan Departemen Pendidikan AS atas alasan efisiensi. Pengecualian Program Fulbright dari daftar awal lebih dari 10.000 program federal yang dijadwalkan untuk dipotong oleh Departemen Efisiensi Pemerintah (Doge) Donald Trump adalah secercah harapan yang berumur pendek.
Pembekuan pendanaan Fulbright yang ditargetkan sebelumnya bertepatan dengan konflik dan masalah geopolitik lainnya. Selama pemerintahan Trump pertama, misalnya, program di China ditangguhkan tanpa batas waktu. Hal ini menimbulkan kemarahan di komunitas pendidikan internasional, tetapi setidaknya dapat dijelaskan sebagai instrumen kebijakan yang dirancang untuk mencari konsesi atau untuk menghukum rezim yang bermusuhan.
Pembekuan pendanaan adalah perbatasan baru dan sepenuhnya merusak diri sendiri. Meskipun menangguhkan program pertukaran internasional konsisten dengan dorongan isolasionis dari perintah eksekutif baru-baru ini, itu tidak kondusif untuk posisi "America First" nya Trump karena penghapusan dana Fulbright sepenuhnya melepaskan pengaruh geopolitik yang dapat diberikan oleh pertukaran akademis.
Meskipun sebagian besar pembayaran yang dibekukan dilaporkan sekarang telah dirilis, masa depan Fulbright masih belum jelas dan, setidaknya, aplikasi di tahun-tahun mendatang kemungkinan akan menurun. Jeda dalam pencairan dana yang telah dialokasikan untuk Fulbright oleh Kongres AS adalah pelanggaran mandat pemerintahan baru dan misi Departemen Luar Negeri untuk "melindungi dan mempromosikan keamanan, kemakmuran, dan nilai-nilai demokrasi AS".
Marisa Lally seorang peneliti postdoctoral research higher education di George Mason University dan Gerardo Blanco seorang associate professor dan direktur akademik - the Center for International Higher Education di Boston College. Menulis artikel di Times Higher Education tanggal 31 Maret 2025 dengan judul: The Fulbright freeze is immoral and self-destructive (Pembekuan Fulbright tidak bermoral dan merusak diri sendiri) berpendapat bahwa penghentian pendanaan Fulbright itu bisa berdampak adanya mahasiswa dan cendekiawan asing yang terdampar di Amerika Serikat. Keduanya juga berpendapat: Sebagai mantan penerima penghargaan Fulbright, dan sebagai peneliti di bidang pendidikan tinggi, kami percaya bahwa semua siswa dan cendekiawan Fulbright saat ini memiliki hak moral atas martabat dan perlindungan. Itu termasuk kebebasan untuk menyelesaikan pengejaran akademik yang diusulkan dalam aplikasi mereka, yang telah menjalani tinjauan sejawat dan persetujuan oleh Dewan Beasiswa Asing Fulbright. Bahkan mereka berpendapat bahwa gagal membayar tunjangan yang dijanjikan siswa dan cendekiawan asing secara penuh mirip dengan AS yang gagal membayar utangnya.
Sementara itu media the Jakarta Post tanggal 22 Maret 2025 memberitakan bahwa Hundreds of Indonesian students in the United States are stuck in limbo after the US State Department announced in early March the suspension of all funding for exchange and study abroad programs, including Fulbright scholarships. (Ratusan mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat terkatung-katung setelah Departemen Luar Negeri AS mengumumkan pada awal Maret penangguhan semua pendanaan untuk program pertukaran dan studi di luar negeri, termasuk beasiswa Fulbright.)
Baca juga: Itu Tidak Sesuai Fatsoen Politik
Editor : Pahlevi