Optika.id, Surabaya - Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi baru- baru ini menui pro dan kontra.
Dosen Hukum Universitas Airlangga (UNAIR), Dr. M. Hadi Subhan, S.H., M.H, CN. Menjelaskan peraturan tersebut dilatarbelakangi karena maraknya kasus kekerasan seksual - secara langsung maupun tidak langsung yang dialami oleh warga kampus. Hal itu tentu bisa berdampak pada kurang optimalnya pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Baca Juga: LMI Luncurkan SDGs Report sebagai Pionir LAZ Berkelanjutan
Secara substansi, dosen Fakultas Hukum UNAIR itu menilai PPKS sangat baik sebagai preventif dan settlement kepada korban yang mengalami kekerasan seksual.
Menurutnya, Ada dua hal yang menuai polemik di masyarakat, yakni anggapan bahwa Kemendikbudristek tidak berwenang membuat aturan karena tidak adanya aturan yang lebih tinggi mengenai PPKS dan anggapan tentang pelegalan zina.
Menanggapi polemik pertama, ia menilai bahwa di dalam Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tertuliskan "suatu lembaga bisa membuat peraturan atas dasar dua hal, yaitu diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau karena menjalankan urusan yang menjadi kewenangannya."
Jadi, meskipun UU PKS sendiri masih digodok oleh DPR, namun secara aspek formal Kemendikbudristek sebagai penanggung jawab pendidikan tinggi tetap berwenang membuat peraturan PPKS, jelas dosen yang biasa disapa Hadi itu.
Selain itu, terkait dengan tuduhan melegalkan zina, pihaknya menilai ada kesalahan dalam menafsirkan kata tanpa persetujuan korban.
Hadi menuturkan tidak ada korelasi antara PPKS dengan anggapan free sex atau zina.Menurutnya, persetujuan di dalam kaca mata hukum memiliki makna tanpa hak.
Baca Juga: Eri Cahyadi Siap Lanjutkan Apresiasi dan Sanksi ASN untuk Pelayanan Publik yang Lebih Baik
Tidak bisa diartikan kalau korbannya mau disentuh berarti boleh dan itu zina. Konsepnya adalah meskipun saling setuju tetapi tidak memiliki hak secara norma hukum agama, etika, dan hukum ya tetap saja tidak boleh melakukan, tegasnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Terkait dengan sanksi yang diberikan pada pelaku kekerasan seksual, dosen yang juga menjabat sebagai Direktur Kewahasiswaan (Dirmawa) UNAIR itu mengatakan pihak kampus hanya bisa memberikan hukuman secara administratif.
Kalau misalkan mau menghukum pelaku secara pidana itu menjadi kewenangan korban untuk melapor pada pihak terkait, karena hukum pidana sudah menjadi urusan negara. Dalam hal ini, kampus hanya bisa melakukan hukuman berupa DO atau hukuman administratif lainnya, pungkasnya.
Baca Juga: Lamongan Terus Tingkatkan Mutu Pendidikan dengan Akuntabilitas Dana
Reporter: Jeni Maulidina
Editor: Amrizal
Editor : Pahlevi