Wacana Sistem Pilkada: Pilkada Asimetris

author Pahlevi

- Pewarta

Minggu, 05 Jan 2025 06:09 WIB

Wacana Sistem Pilkada: Pilkada Asimetris

Optika.id - Wacana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) asimetris muncul saat diskusi Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita dengan tema "Plus Minus Pilkada Oleh DPRD". Wacana tersebut digaungkan oleh Prof Dr Djohermansyah Djohan. Menurut Guru Besar IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) ini pilkada asimetris sangat ideal untuk kinerja Pemda yang efektif.

"Contohnya Pilkada langsung ini bisa digelar untuk provinsi atau gubernur. Pilkada tidak langsung atau DPRD bisa dilakukan di Kabupaten/Kota seluruhnya dan provinsi-provinsi di tanah Papua. Kalau pilkada secara penetapan itu seperti DIY. Pilkada secara appointed itu di kota-kota administratif di Jakarta, provinsi administratif di IKN Nusantara, pilot project untuk kota-kota kecil yang tidak memenuhi syarat sebagai daerah otonom seperti terdiri hanya 2 kecamatan," kata Prof Djo sapaan akrabnya seperti dikutip Optika.id, Minggu (5/1/2025).

Baca Juga: Wacana Pilkada Tak Langsung, Kemunduran Demokrasi?

Prof Djo mengatakan ada 6 poin yang akan menghasilkan sistem pilkada ideal di Indonesia. Pertama, filosofi pancasila dan UUD 1945 (demokrasi). Kedua, dihormatinya kekhususan dan keistimewaan daerah (special authonomy). Ketiga, dont costly (efisien). Keempat, anti fraud (electoral integrity terjaga). Kelima, strong and clean leader (pemimpin pemda kompeten, berintegritas, tidak koruptif). Keenam, terwujudnya Pemda yang efektif (good local governance).

"Mustahil bagi Indonesia untuk mencoba demokratisasi ketika rakyatnya masih hidup dengan pendapatan per kapita yang rendah, yaitu sekitar 2600 USD," katanya.

Prof Djo juga menjelaskan mengapa pilkada langsung direkomendasikan di provinsi sedangkan kabupaten/kota tidak langsung.

"Provinsi adalah daerah otonom besar, sehingga legitimasi pemimpinnya harus kuat lewat mandat langsung dari rakyat. Selain itu gubernur adalah wakil pemerintah pusat yang bertugas mengawasi bupati dan walikota, kapasitas fiskalnya lumayan, dan gubernur sumber rekrutmen untuk jabatan presiden," tandasnya

"Untuk kabupaten/kota sebagai daerah otonom kecil legitimasi pemimpinnya tak perlu sekuat gubernur, mandatnya cukup dari wakil rakyat. Kemandirian fiskalnya juga rendah, sehingga APBD nya sangat tergantung pada dana transfer pusat," tambahnya.

Bila tetap ditempuh Pilkada Langsung, Prof Djo merekomendasikan beberapa perbaikan seperti perbaikan pada masa persiapan, perbaikan pada masa penyelenggaraan, perbaikan pada masa pasca pilkada, perbaikan pada parpol pengusung, perbaikan pada pemilih, perbaikan pada pendapatan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Sementara itu, Pilkada secara tidak langsung (DPRD), Prof Djo merekomendasikan beberapa perbaikan. Mulai dari syarat pencalonan, menggunakan model eksekutif tunggal sampai tahapan pemilihan dilakukan pengawasan ketat dengan melibatkan aparat penegak hukum (koordinasi dan supervisi oleh KPK).

Kesalahan Membaca Masalah

Sementara itu, pengamat politik Universitas Brawijaya Dr Abdul Azis mengatakan bahwa ada kesalahan membaca masalah melihat persoalan sistem Pilkada. Ibaratnya orang sakit jantung dikasi obat sakit kepala.

"Pilkada sebelum reformasi menunjukkan pilkada yang sangat buruk prosesnya karena melalui parpol. Parpol yang menunjuk siapa yang bertanding. Karena semua melalui parpol dan DPRD," kata Dosen FISIP Universitas Brawijaya ini dalam diskusi tersebut.

Prabowo, kata Azis, pernah menyatakan bahwa yang ditanyakan dalam kontestasi Pilkada bukan seberapa tinggi popularitas tetapi berapa uang yang dipunya.

"Bukan yang ditanya karyanya tapi berapa duitmu. Uang menjadi penting dalam pilkada. Uang yang boros diciptakan para pemain sendiri. Mayoritas calon kepala daerah bermain serangan fajar. Contohnya Pilkada 2024 ini yang buruk. Presiden Jokowi ikut campur mengangkat pj kepala daerah sampai 2,5 tahun. Selain itu juga ada lebih 56 persen di provinsi yang mengajukan sengketa ke MK serta ada 240 kabupaten dan 49 kota ajukan sengketa. Itulah keburukan pilkada 2024 kali ini," kesal Azis.

Sebenarnya, kata Azis, solusinya bukan dikembalikan ke DPRD, tapi penyakitnya di parpol.

"Ada disitu (parpol) penyakitnya merekalah yang promosikan memilih kepala daerah, semuanya ditimbulkan parpol. Tidak ada jaminan dikembalikan ke dprd bakal lebih baik. Benahi parpol dulu kalau aktornya sama sulit. Seperti peribahasa buruk muka cermin dibelah yang disalahkan," tukasnya.

Baca Juga: KPU Jakarta Tetapkan Pramono-Doel Menang Satu Putaran, Rido Menggugat

Menurut Azis, dalam konteks sistem pemilu perlu membenahi partai politik. Azis sangat tidak sepakat sistem Pilkada balik ke DPRD.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pilkada 2024 Terselenggara dengan Baik

Pemungutan dan penghitungan suara pemilihan Kepala Daerah serentak 2024 telah terselenggara dengan baik. Apresiasi diberikan kepada semua pihak atas dukungan dan masukan selama ini sehingga pilkada serentak pertama dalam sejarah demokrasi Indonesia berjalan dengan baik.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara terbuka atas masukan dan saran serta evaluasi penyelenggaraan Pilkada 2024. Tentu tujuannya agar penyelenggaraan pilkada berikutnya bisa berjalan tanpa ada catatan.

Hal tersebut disampaikan Ketua KPU Mochammad Afifuddin saat hadir pada diskusi "Plus Minus Pilkada 2024" yang digelar Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita, beberapa waktu yang lalu yang diikuti oleh Optika.id.

Afif sapaan akrabnya juga menyampaikan situasi terkini pasca pemungutan suara Pilkada 2024. Termasuk partisipasi pemilih yang diakui mengalami penurunan namun masih berada di angka 71 persen. "Ini angka paling update yang kami sampaikan," ungkap Afif.

Terkait tema plus minus pilkada, pria asal Sidoarjo Jawa Timur menyampaikan secara normatif, dan kembali menyampaikan terkait tujuan awal penyelenggaraan keserentakan yakni penghematan biaya.

Baca Juga: Hasil Rekapitulasi Pilwali Surabaya: Eri-Armuji vs Kotak Kosong dan Suara Tidak Sah

"Ini kita bisa review apakah memang bisa hemat biaya penyelenggaraan pilkada yang dilakukan serentak atau tidak," tutur Afif.

Kemudian berkaitan dengan kemampuan penyelenggara yang dituntut untuk bekerja secara marathon, mengingat penyelenggaraan pilkada beririsan dengan penyelenggaraan pemilu yang tentu menguras banyak tenaga dan pikiran. Juga proses konsolidasi yang dilakukan partai politik untuk membangun koalisi pasca pemilu dan kemudian pilkada.

"Butuh effort luar biasa. Dari sisi KPU kami melaksanakan aturan dan UU, kami siap-siap saja tetapi dari sisi idealitas bisa didiskusikan situasi mana yang lebih baik," tambah Afif.

"Memang ada plus minusnya, tapi pada intinya di gelaran pilkada serentak pertama ini tentu kita patut bersykur karena secara umum kita bisa melaksanakan dengan lancar, damai, (ini yang penting)," pungkasnya.

Diketahui, wacana pilkada tidak langsung berdesus setelah Presiden Prabowo menyinggung peluang perubahan sistem tersebut. Dia mengatakan, dengan sistem pemilihan langsung, pilkada menelan biaya mahal. Menurutnya sistem politik di Indonesia yang dinilai mahal dan tidak efisien bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

"Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien. Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih, ya sudah DPRD itu milih gubernur, milih bupati. Efisien, enggak keluar duit, keluar duit, keluar duit, kayak kita," kata Presiden Prabowo saat memberikan sambutan dalam acara HUT Ke-60 Partai Golkar, di Sentul International Convention Center, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/12/2024).

Kemungkinan sistem ini terlalu mahal. Betul? Dari wajah yang menang pun saya lihat lesu, apalagi yang kalah, tambahnya.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU