Oleh: Ahmad Azharuddin
Optika.id - Generasi Z, atau mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, telah menjadi sorotan utama dalam berbagai diskusi sosial, ekonomi, dan politik. Sebagai generasi yang tumbuh dengan teknologi digital, mereka memiliki cara pandang unik terhadap dunia. Ketika berbicara tentang politik, Generasi Z menawarkan dua sisi koin yang menarik: harapan baru dengan semangat perubahan dan inovasi, atau tantangan baru karena pendekatan mereka yang berbeda terhadap isu-isu tradisional.
Baca Juga: Tiktoker Ini Ungkap Jika PDIP Usung Anies, Seluruh Daerah Terkena Dampak Positif!
Generasi Z: Digital Natives dengan Kekuatan Suara Baru. Generasi Z tumbuh dalam era media sosial, di mana akses informasi tidak lagi menjadi monopoli kelompok elit. Mereka dapat belajar tentang isu-isu politik melalui platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter. Aktivisme online telah menjadi salah satu ciri khas mereka, mulai dari kampanye kesadaran iklim hingga protes sosial seperti #BlackLivesMatter & #ReformasiDikorupsi.
Keunggulan mereka dalam menggunakan teknologi ini memberikan harapan baru bagi dunia politik. Dengan suara yang lebih vokal, Generasi Z mampu mendorong perubahan secara cepat melalui media sosial. Contohnya adalah bagaimana gerakan digital di Indonesia, seperti petisi online dan penggalangan dana untuk korban bencana, berhasil menunjukkan bahwa anak muda dapat menjadi agen perubahan yang nyata.
Namun, keterlibatan digital ini juga memiliki tantangan. Banyak dari Generasi Z yang lebih nyaman menyuarakan pendapat di dunia maya dibandingkan turun langsung ke lapangan. Hal ini memunculkan istilah "Slacktivism", di mana aktivisme hanya berhenti pada tingkat simbolik, seperti membagikan unggahan atau mengganti foto profil.
Keterlibatan Politik: Antara Harapan dan Tantangan. Generasi Z sering kali disebut sebagai generasi yang "melek politik". Mereka memiliki pandangan yang lebih inklusif, terbuka terhadap keberagaman, dan cenderung mendukung kebijakan progresif. Dalam survei global, banyak dari mereka menunjukkan kepedulian terhadap isu-isu seperti perubahan iklim, keadilan sosial, dan hak asasi manusia.
Namun, di Indonesia, partisipasi politik Generasi Z masih menjadi perdebatan. Sebagian besar dari mereka belum melihat politik sebagai sarana utama untuk membawa perubahan. Tingkat kepercayaan mereka terhadap institusi politik, seperti partai dan parlemen, cenderung rendah. Hal ini disebabkan oleh persepsi bahwa politik sering kali identik dengan korupsi, nepotisme, dan kepentingan pribadi.
Sebagai generasi yang tumbuh dalam era globalisasi, Generasi Z memiliki ekspektasi tinggi terhadap transparansi dan akuntabilitas. Mereka tidak segan mengkritik politisi yang dianggap tidak memenuhi janji kampanye. Namun, sikap kritis ini juga dapat menjadi tantangan jika tidak diimbangi dengan pemahaman yang mendalam tentang proses politik.
Peran Media Sosial dalam Membentuk Pandangan Politik. Media sosial telah menjadi alat utama bagi Generasi Z untuk memahami dan terlibat dalam politik. Platform seperti TikTok dan Instagram memungkinkan mereka untuk mengakses informasi dengan cara yang menarik dan mudah dipahami. Video pendek, infografis, dan meme sering digunakan untuk menjelaskan isu-isu politik yang kompleks.
Namun, ada risiko besar dalam penggunaan media sosial sebagai sumber utama informasi politik. Algoritma media sosial cenderung memperkuat echo chamber, di mana pengguna hanya terpapar pada pandangan yang sejalan dengan mereka. Hal ini dapat menghambat diskusi yang sehat dan memperkuat polarisasi.
Baca Juga: Eri Cahyadi Resmi Launching Surabaya Expo Center, Wadah Kreasi Anak Muda
Selain itu, maraknya berita palsu (fake news) dan informasi yang menyesatkan juga menjadi ancaman. Generasi Z harus lebih kritis dalam memilah informasi, terutama ketika isu-isu politik sering kali dimanipulasi untuk kepentingan tertentu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Harapan Baru: Kepemimpinan Masa Depan. Salah satu alasan mengapa Generasi Z dianggap sebagai harapan baru dalam politik adalah kemampuan mereka untuk berpikir di luar kotak. Mereka lebih berani mengeksplorasi solusi alternatif untuk masalah yang kompleks. Sebagai generasi yang hidup di era teknologi, mereka dapat memanfaatkan data dan inovasi untuk menciptakan kebijakan yang lebih efektif.
Banyak anak muda dari Generasi Z yang telah menunjukkan potensi kepemimpinan mereka, baik di tingkat lokal maupun internasional. Misalnya, Greta Thunberg yang menjadi ikon gerakan lingkungan global, atau aktivis lokal di Indonesia yang berjuang untuk keadilan sosial.
Namun, harapan ini hanya akan terwujud jika Generasi Z bersedia melibatkan diri secara aktif dalam proses politik. Mereka perlu memahami bahwa perubahan nyata tidak hanya bisa dicapai melalui protes atau unggahan media sosial, tetapi juga melalui keterlibatan langsung dalam pengambilan keputusan.
Tantangan Baru: Menghadapi Sistem yang Mapan. Salah satu tantangan terbesar bagi Generasi Z adalah menghadapi sistem politik yang sudah mapan. Sistem ini sering kali memiliki resistensi terhadap perubahan, terutama jika perubahan tersebut mengancam kepentingan kelompok tertentu.
Baca Juga: Organisasi Gen-Z Perubahan Dukung Anies Baswedan!
Generasi Z juga harus menghadapi tantangan dalam membangun solidaritas lintas generasi. Perbedaan nilai dan cara pandang antara Generasi Z dan generasi sebelumnya, seperti Baby Boomers atau Generasi X, sering kali menjadi hambatan dalam kolaborasi.
Selain itu, budaya politik di Indonesia yang masih didominasi oleh politik identitas dan pragmatisme menjadi tantangan tersendiri. Generasi Z harus menemukan cara untuk mempromosikan nilai-nilai inklusivitas dan keadilan di tengah dinamika politik yang kompleks.
Jalan Panjang Menuju Perubahan. Generasi Z membawa harapan baru sekaligus tantangan baru dalam politik. Sebagai generasi yang melek teknologi dan memiliki semangat perubahan, mereka memiliki potensi besar untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Namun, potensi ini hanya dapat terwujud jika mereka mampu mengatasi tantangan-tantangan yang ada, seperti polarisasi, kurangnya pemahaman mendalam, dan resistensi sistem.
Harapan terbesar adalah melihat Generasi Z tidak hanya sebagai pengamat atau kritikus, tetapi juga sebagai aktor utama dalam proses politik. Dengan keberanian, kreativitas, dan komitmen, mereka dapat menjadi katalisator perubahan yang nyata, membawa politik ke arah yang lebih inklusif, transparan, dan berkeadilan.
Kini, pertanyaannya adalah: apakah Generasi Z siap mengambil peran ini, ataukah mereka akan menjadi generasi yang hanya sekadar vokal tanpa tindakan nyata? Waktu yang akan menjawab, tetapi masa depan politik jelas berada di tangan mereka.
Editor : Pahlevi