Optika.id - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi The Guardian of Constitution (Penjaga Gerbang Konstitusi). Kali ini MK menolak gugatan untuk menghapus kolom agama di e-KTP hingga di syarat sah perkawinan. MK menegaskan setiap warga negara harus memiliki agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Putusan MK itu dibacakan oleh Arief Hidayat, hakim MK, saat membacakan pertimbangan putusan perkara 146/PUU-XXII/2024, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (3/1/2025). Menurut hakim MK itu salah satu karakter bangsa Indonesia adalah kebebasan beragama atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Baca Juga: MK Setujui Opsi 'Setuju' atau 'Tidak Setuju' untuk Pilkada Calon Tunggal
"Dalam konteks ini, maka implementasi masing-masing individu dalam meyakini Ketuhanan Yang Maha Esa dalam hukum positif adalah beragama dan menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara merdeka, hal mana merupakan pilihan yang jauh lebih tepat daripada tidak beragama atau tidak menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa," urai Arief, dilansir detiknews.com, Jumat, (03/01/2025).
MK mengukuhkan dan memutuskan bahwa bangsa Indonesia harus beragama setelah menolak gugatan Raymond Kamil dan Indra Syahputra. Raymond Kamil dan Syahputra mengajukan gugatan terhadap sejumlah pasal dalam beberapa undang-undang, termasuk Undang-Undang Administrasi Kependudukan (Adminduk), yang mengatur urusan agama warga.
Baik Raymond dan Syahputra meminta MK memperbolehkan warga tidak menganut agama. Menurut mereka dengan tetap ada kolom beragama di e-KTP maka masyarakat merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan sejumlah aturan yang menurut mereka mengharuskan warga negara untuk beragama atau menganut agama. Mereka merasa ada ketidakpastian perlindungan bagi warga gara-gara keharusan itu.
"Hak konstitusional para pemohon yang tidak memeluk agama dan kepercayaan dirugikan dengan berlakunya undang-undang yang menjadi objek permohonan dan kerugian bersifat aktual dan/atau menurut penalaran yang wajar dapat terjadi dan memiliki hubungan sebab-akibat yang nyata," demikian ujar pemohon seperti dilihat dari risalah persidangan, Rabu (23/10/2024).
MK secara tegas memutuskan bangsa Indonesia harus menganut agama atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
"Dengan demikian, pembatasan kebebasan beragama di mana tidak ada ruang kebebasan bagi warga negara untuk tidak memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pembatasan yang proporsional dan bukanlah pembatasan yang bertentangan dengan Konstitusi. Oleh karena itu, dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas bersyarat Pasal 22 UU 39/1999 adalah tidak beralasan menurut hukum," urai lebih lanjut Hakim Arief Hidayat.
Arief menegaskan kebebasan beragama atau berkepercayaan ialah kebebasan untuk memilih agama atau kepercayaan masing-masing. Arief menyatakan kebebasan itu bukan untuk memberikan ruang bagi warga negara boleh untuk tidak beragama atau berkepercayaan.
"Untuk itu, norma dalam undang-undang yang mengatur mengenai administrasi kependudukan mewajibkan bagi setiap warga negara untuk menyebutkan atau mendaftarkan diri sebagai pemeluk agama atau penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan norma yang berfungsi dan bertujuan untuk memfasilitasi dan mewujudkan karakter bangsa yang demikian," jelasnya.
Arief juga menyampaikan adanya kebebasan beragama atau berkepercayaan bukanlah pembatasan hak asasi. Arief mengatakan hukum memberikan kemerdekaan bagi warga negara untuk memilih agama dan meyakini kepercayaan terhadap Tuhan Yang Esa, selagi tidak melanggar pembatasan-pembatasan yang telah diatur dalam UUD NRI 1945, urai Arief Hidayat.
Penjaga Konstitusi dan Demokrasi
Baca Juga: Stok Blangko e-KTP Terbatas, Dispendukcapil Surabaya Prioritaskan Pemilih Pilkada
MK kembali menjadi Penjaga Konstitusi setelah ketua MK dipegang oleh Suhartoyo. Sebelumnya, saat MK diketuai oleh Anwar Usman yang adik ipar Presiden Joko Widodo, telah meloloskan keputusan kontroversial yaitu meloloskan Gibran Rakabumi Raka bisa menjadi calon wakil presiden.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di bawah Ketua Suhartoyo MK telah membuat putusan yang fenomenal dan berani. Menjelang pilkada (pemilu kepala daerah) serentak dimana rezim Jokowi dan Prabowo berusaha menutup calon kepala daerah di luar kepentingan rezim dan KIM Plus (Koalisi Indonesia Maju Plus) maka dengan putusan MK mendadak membubarkan cengkeraman kekuasaan tersebut.
Putusan MK 60/2024, mengubah bunyi Pasal 40 UU Pilkada 2016 tentang ambang batas minimal sebagai syarat parpol atau gabungan parpol untuk mengusung cakada dalam pilkada. MK dalam putusannya itu, merasionalisasikan empat klaster ambang batas baru di bawah 10 persen bagi parpol, atau gabungan parpol untuk mengusung pada cakadanya.
Sedangkan putusan MK 70/2024 mengubah ketentuan Pasal 7 UU Pilkada yang mengatur soal batas umur cakada pada saat pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dengan adanya putusan MK tersebut, maka ketentuan dalam Pasal 40, dan Pasal 7 UU Pilkada 2016 mengacu pada putusan MK.
Hal yang terbaru MK telah membuat Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menghapus Presidential Threshold (PT) sebesar 20 persen. Dengan putusan itu maka semua partai politik peserta pemilu berhak mengusung calon presiden dan wakil presiden.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam kuliah umum bertema Peran Mahkamah Konstitusi sebagai The Guardian of Constitutional, pada Sabtu (17/12/2022) di Ruang Seminar FH Universitas IBA.
Baca Juga: Suhartoyo MK: Putusan Sengketa Pilkada Bisa Lebih Progresif!
Enny menyebut, MK dibentuk dengan fungsi untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang ke luar dari koridor konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya.
MK berfungsi sebagai penjaga gawang konstitusi. Jadi yang dimaksud sebagai penjaga gawang itu agar tidak terjadi lagi norma dari sebuah undang-undang menimbulkan persoalan konstitusi. Harus ada lembaga yang menyeimbangkan konstitusi sebagai wujud check and balances, terang Enny.
Lebih lanjut Enny menjelaskan MK sebagai penafsir konstitusi mengandung pengertian hanya penafsiran konstitusi yang diberikan oleh MK (melalui putusan-putusan dalam pelaksanaan kewenangannya, khususnya kewenangan pengujian konstitusionalitas undang-undang) yang secara hukum mengikat.
MK sebagai the final interpreter of constitution diartikan bahwa tidak ada institusi lain yang berwenang menafsirkan konstitusi, kecuali MK, tegas Enny.
Dikatakan Enny, selain MK dijadikan lembaga yang berperan sebagai the guardian of constitution dan the final interpreter of constitution, MK juga sebagai the guardian of democracy, the protector of citizens constitutional rights dan the protector of human rights. MK sebagai the guardian of democracy diartikan bahwa MK menjaga demokrasi.
Tulisan: Aribowo
Editor : Pahlevi