Guru Besar UI Sebut Masa Depan Demokrasi Indonesia Pesimis!

author Danny

- Pewarta

Minggu, 10 Mar 2024 16:37 WIB

Guru Besar UI Sebut Masa Depan Demokrasi Indonesia Pesimis!

Surabaya (optika.id) - Peneliti BRIN sekaligus Guru Besar Universitas Indonesia, Lili Romli sebut penegakan demokrasi di Indonesia ini sangat pesimis. Ia melihat persolaan itu dengan berkaca dari Pemilu 2024 yang dianggap banyak sekali terjadi kecurangan, kepentingan pihak-pihak tertentu. Bahkan, ia sempat menyenggol pencalonan Prabowo yang pada Pemilu periode lalu juga mencalonkan diri namun kalah. Lili pun mempertanyakan, apakah pencalonan ia kali ini untuk menegakkan demokrasi atau menghancurkan demokrasi. 

"Merujuk pada survei-survei, dukungan demokrasi masih kuat, jadi hampir 70 persen lebih masyarakat menginginkan pemerintahan baik adalah demokrasi. Dukungan masyarakat menjadi bahan pertimbangan untuk terus menegakkan demokrasi. Juga bagi alat menghadang rezim tidak mengembalikan demokrasi ke titik yang rendah," ujar dia, dalam diskusi "Forum Insan Cita" Minggu, (10/3/2024). 

Baca Juga: Aktivis Demokrasi Ini Sebut Jika RK Berani, Lawan Anies!

Gambaran suram pesimis itu, kata Romli tidak melahirkan otoritarianisme. Paling tidak terjadi peralihan nada pesimis itu muncul rezim itu dari kondisi dalam kondisi pada elektoral demokrasi. Bisa beralih menjadi electoral otokrasi, pemilu ada, kebebasan dihambat. Ada kriminalisasi kepada aktor, akan dihadapi kedepannya. Jangka pendek, paling tidak Romli menyebut tiga indikator sebagai berikut. 

"Pertama hak angket ini apakah akan layu sebelum berkembang, atau akan terus digulirkan, partai politik masih mencoba kata-katanya tidak menutup tetapi masih ada membuka kemungkinan itu. Seringkali muncul perkataan tunggu 20 Maret setelah pengumuman pemilu. Mudah-mudahan setelah tanggal 20 Maret itu tetap digulirkan," terangnya. 

Baca Juga: Peneliti LIPI: Sohibul Iman Jadi Nilai Tawar Cagub DKI Jakarta!

Kemudian, penegakkan demokrasi secara singkat bisa disalurkan melalui hak angket. Meskipun publik memberikan dukungan luas, tetapi partai bisa berfikir lain. Lalu, UU Provinsi Jakarta yang menimbulkan kontroversi penghancuran demokrasi. Berbunyi "Gubernur dipilih Presiden", jika tetap ditabrak memang melanggar konstitusi. 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Terbentuknya dewan aglomerasi, apakah itu urgen, ketika Jakarta tidak menjadi ibukota tapi dibentuk aglomerasi, bagi yang dari Banten setuju sebagian kabupatennya, apakah Jawa Barat begitu kan belum diskusi untuk membentuk itu. Jawa Barat apakah mengikhlaskan Depok dan Bekasinya. Saya sendiri tidak setuju adanya aglomerasi," jelasnya. 

Baca Juga: Guru Besar UI Sebut Serangan Iran Bisa Jadikan Perang Dunia III

Apakah Undang-Undang Provinsi Jakarta akan demokratis atau tidak. Selanjutnya, pasca 20 Maret nanti apakah terbentuk koalisi besar, atau ada kekuatan oposisi signifikan. Harapannya terletak kepada PDIP dan NasDem. PKS tidak dikatakan Romli karena sudah pasti oposisi, kalau menjadi oposisi NasDem dan PDIP akan ada kekuatan penyeimbang. 

"Tiga indikator ini, tidak terjadi salah satu saja, maka selamat datang otoritarianisme," pungkas dia. 

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU