Mengungkap Sebab UKT Kampus Negeri Melangit

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Jumat, 21 Jul 2023 15:13 WIB

Mengungkap Sebab UKT Kampus Negeri Melangit

Optika.id - Penerimaan mahasiswa baru melalui seleksi nasional sudah berakhir, beberapa perguruan tinggi juga sudah usai menggelar seleksi jalur mandiri. Kini, tinggal calon mahasiswa yang melakukan registrasi atau daftar ulang ke perguruan tinggi masing-masing.

Baca Juga: PDIP Desak Pemerintahan Jokowi Turunkan Biaya UKT!

Namun, belakangan ini proses registrasi calon mahasiswa baru menuai polemik, terutama dalam proses penetapan dan pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT). Bahkan, media sosial diramaikan oleh calon mahasiswa yang mengeluhkan besarnya UKT yang dirasa tidak sesuai dengan kondisi ekonomi orang tua mereka.

Menanggapi hal demikian, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menganggap jika akar masalah dari tingginya UKT di sejumlah perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi negeri (PTN) diakibatkan oleh perubahan status perguruan tinggi. Tak pelak, tingginya UKT sejumlah PTN ini menjadi perbincangan hangat di media sosial belakangan ini.

"Problemnya kan di perubahan status perguruan tinggi. Jadi, sekarang ini perguruan tinggi menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH)," ujar Ubaid kepada Optika.id, Kamis (20/7/2023).

Dengan statusnya sebagai PTN-BH, imbuh Ubaid, maka perguruan tinggi diberi kebebasan untuk mencari sumber pendanaan selain dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pendanaan selain APBN yang dimaksud sumbernya bisa dari biaya pendidikan, masyarakat, pengelolaan dana abadi, usaha dan lain sebagainya. Ubaid menegaskan jika hal tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2015 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan PTN-BH.

Kendati demikian, apabila PTN-BH tidak memiliki usaha seperti yang tersebut di atas, yang sering terjadi menurut Ubaid adalah pendanaan PTN-BH yang dibebankan kepada mahasiswa melalui UKT mereka. Alhasil, yang terjadi adalah komersialisasi pendidikan.

Ubaid menegaskan jika hal itu mengkhawatirkan. Pihaknya juga menolak hal itu lantaran membebankan masyarakat dan mahasiswa itu sendiri.

Baca Juga: Penjelasan Kemdikbudristek Soal UKT yang Tengah Ramai

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Di sisi lain, Ubaid menyinggung perihal kuota seleksi mandiri PTN-BH yang mencapai 50% pada tahun ini yang merupakan kuota terbesar di antara lainnya. Melihat hal tersebut, Ubaid menilai jika seleksi mandiri menjadi tempat maraknya transaksi jual beli kursi. Kuota 50% yang menurut Ubaid besar tersebut pun memberi peluang yang lebih luas untuk terjadinya praktik transaksi jual beli tersebut.

"Kalau jalur mandiri ini sampai 50%, berarti ini bahaya. Ada banyak transaksi jual beli kursi. Nah, ini kan bagian dari proyek komersialisasi juga," ujarnya.

Kondisi tersebut, ujar Ubaid, pada akhirnya membuat pendidikan tinggi hanya bisa diakses oleh orang kaya semata serta bisa menimbulkan diskriminasi kepada masyarakat lainnya, khususnya mereka yang tidak mampu. Maka dari itu, Ubaid menilai undang-undang yang memayungi PTN-BH pun perlu dicabut untuk menciptakan pendidikan tinggi yang lebih berkeadilan dan diakses oleh semua masyarakat.

Baca Juga: Simbiosis Parasitisme Kerjasama Universitas dengan Pinjol

"Selama regulasi PTN-BH ini masih eksis, selama itu pula proses-proses ketidakadilan ini terjadi," ucapnya.

Sebagai informasi, saat ini tercatat ada sebanyak 21 PTN-BH yang tersebar di seluruh Indonesia. kemudian baru-baru ini melalui Peraturan Pemerintah pada 20 Oktober 2022 silam ada lima PTN yang berubah status menjadi PTN-BH setelah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Kelima PTN-BH itu adalah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Negeri Semarang (Unnes), Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Universitas Syiah Kuala (USK), dan Universitas Terbuka (UT).

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU