[caption id="attachment_14301" align="alignnone" width="180"] Ruby Kay[/caption]
Anggaplah Rocky Gerung, Fadli Zon, Faisal Basr i, Ichsanoedin Noorsy, Refly Harun, Haikal Hassan sebagai influencer kubu oposisi. Statement mereka acapkali nongol ditelevisi dan media sosial mengkritik kebijakan rezim Jokowi.
Baca Juga: Prabowo Disarankan Putuskan Hubungannya dengan Jokowi!
Lawan mereka tentu Denny Siregar, Guntur Romli, Permadi Arya, Eko Kuntadhi, Ade Armando dan banyak lagi buzzer peliharaan penguasa lainnya yang selama ini getol membela pemerintah dengan narasi yang melenceng jauh dari substansi.
Sebetulnya gue gak sampai hati membandingkan prof. Refly Harun dengan Denny Siregar. Dari latar belakang pendidikan, wawasan berpikir dan cara menulis saja sudah berbeda 180. Namun kedua orang ini punya pengaruh sama kuat dimedia sosial. Dua kubu yang saling bersahutan tapi punya perbedaan yang sangat signifikan.
Kubu oposisi selama ini diajak berpikir kritis. Gue sendiri jelas terpengaruh dengan berbagai narasi yang dirangkai oleh influencer oposisi seperti Rocky Gerung cs. Pemikiran mereka objektif, semata-mata menelanjangi policy penguasa seperti menyoroti proyek mercusuar jalan tol dan IKN, hutang luar negeri, KKN dilingkaran istana dan lain sebagainya. Kritik pun berjalan dinamis menyesuaikan dengan kebijakan yang dikeluarkan penguasa.
Hal ini sangat berbeda dengan buzzer peliharaan rezim yang sedari dulu hanya fokus menyoroti hal itu-itu saja. Lihat saja realita yang ada, isu yang buzzer lemparkan kepublik hingga kini hanya soal radikal-radikul, nyinyir dengan ajaran Islam. Kritik kepada penguasa yang disertai dengan data empirik sama sekali tidak bisa dicounter oleh pasukan buzzer istana.
Apa pernah kita membaca statement influencer oposisi yang menjelek-jelekkan ajaran agama tertentu? Apa pernah Refly Harun nyinyir dengan trinitas? Apa pernah Ichsanoedin Noorsy membuat kegaduhan dengan melontarkan statement yang melecehkan ritual ummat Hindu di Bali? Tidak. Influencer oposisi mengkritik penguasa sesuai dengan background pendidikannya masing-masing. Ahli ekonomi mengulas sisi gelap dibalik pembangunan jalan tol. Sebaliknya pakar hukum tata negara mengkritik wacana perpanjangan jabatan Presiden.
Baca Juga: Jokowi Sudah Layak Disandingkan dengan Pemimpin Korup di Dunia?
Begitulah prilaku influencer kubu oposisi. Tak perlu antipati, karena yang begini akan selalu ada dalam demokrasi. Sekalipun yang jadi Presiden Anies Baswedan atau Prabowo Subianto, kritik tetap harus dilakukan sebagai penyeimbang kekuasaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu buzzer yang dipelihara oleh rezim bisanya cuma melontarkan isu yang sudah basi. Mereka berusaha menjauhkan publik dari masalah yang menjadi sorotan masyarakat. Defisit APBN, hutang luar negeri yang sudah tembus 7000 trilyun, dicounter dengan nyinyiran terhadap ritual peribadatan ummat Islam. Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba Ade Armando mengeluarkan statement tak berdasar tentang ibadah sholat lima waktu. Sedangkan Permadi Arya melecehkan peran masjidil Aqsa dalam peristiwa Isra' Mi'raj.
Ketidakmampuan buzzer Jokowi dalam menyanggah kritikan para profesional terhadap segala kebijakan pemerintah membuat mereka seperti banteng yang kesurupan, seruduk sana-sini dengan merangkai narasi murahan. Apakah mereka bisa secara gamblang menjelaskan tentang beban hutang luar negeri? Apakah mereka bisa menganalisa kartel dibalik praktik monopoli perdagangan CPO? Apakah mereka bisa membuat analisa makro? Sama sekali tidak.
Baca Juga: Indikator Jokowi Layak sebagai Nominator Presiden Terkorup Dunia, Apa saja Itu?
Yang bisa mereka lakukan cuma nyinyir dengan jenggot, cingkrang, cadar, sholat, memutarbalikkan sirah nabawiyah. Bosan gak sih disuguhi dengan narasi itu-itu mulu? Jengah, tapi mau tidak mau opini murahan itu mesti kita lawan. Karena pembodohan mereka ternyata diaminkan begitu saja oleh banyak orang diluar sana.
Ruby Kay
Editor : Pahlevi