Bola Liar Isu Radikalisme Yang Dimulai Jokowi

author optikaid

- Pewarta

Sabtu, 19 Mar 2022 15:14 WIB

Bola Liar Isu Radikalisme Yang Dimulai Jokowi

i

Bola Liar Isu Radikalisme Yang Dimulai Jokowi

[caption id="attachment_17616" align="alignnone" width="197"] Adam A. Bahar[/caption]

Pada 1 maret 2022 lalu, dalam sambutanya di depan rapimnas TNI-Polri, Presiden Jokowi menyatakan bahwa TNI-Polri harus steril dari penceramah radikal.  Pasca pernyataan Jokowi itu, publik Indonesia ramai memperbincangkan kategori penceramah radikal yang dimaksud Presiden. Meski konteks pembicaraan Jokowi sebenarnya dalam lingkup TNI-Polri yang notabenenya berlandaskan asas satu komando, di bawah pimpinan tinggi TNI-Polri dan Presiden sebagai komando tertinggi, namun bola liar telah lari kemana-mana. Hasilnya, penceramah radikal menjadi isu yang kemudian ramai diperbincangkan. 

Baca Juga: Prabowo Disarankan Putuskan Hubungannya dengan Jokowi!

Di tengah isu lain yang tidak kalah penting yang sedang ramai diperbincangkan di masyarakat - seperti isu kenaikan harga, kelangkaan minyak goreng, penundaan pemilu, sampai perpanjangan masa jabatan presiden,- isu penceramah radikal yang dipicu oleh pernyataan Presiden sontak menjadi trending topik dimana-mana. Konteks masyarakat Indonesia yang sangat religius mungkin saja dapat dinilai sebagai pemicu menguatnya isu itu. Namun, kita semua tahu bahwa isu itu mempunyai konsekuensi politik yang sangat besar sehingga kita tidak bisa mengabaikan aspek politis dari bangkitnya isu itu.

Untuk melihat aspek politis dari bangkitnya isu itu, pertama-tama kita perlu secara utuh melihat konteks dan konten pernyataan Presiden Jokowi terkait isu penceramah radikal itu. Konteksnya secara sempit ialah rapimnas TNI-Polri yang mana pesertanya terutama berasal dari kalangan TNI-Polri. Sedangkan konteks yang lebih luas yang jarang diperhatikan orang ialah konteks politik Indonesia, yang antara lain meliputi, misalnya,  kondisi demokrasi yang sedang mengalami kemunduran bahkan cenderung ke arah illiberal; Berkurangnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah dan kerasnya kritik masyarakat atas kebijakan-kebijakan pemerintah; bangkitnya populisme islam, dan lain sebagainya. Di samping itu, konteks yang secara cepat banyak disinggung oleh para analis ialah konteks pemilu 2024 dimana isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden sedang bergulir.

Sementara itu, konten pernyataan Presiden Jokowi itu cukup beragam. Namun, jika dilihat secara cepat, konten penyataan Jokowi yang ramai diperbincangkan itu, antara lain: soal grup-grup WA anggota TNI-Polri yang kritis terhadap kebijakan pemerintah, seperti pembentukan IKN; soal pentingnya bagi anggota TNI-Polri disiplin dan satu komando; hingga peringatan pada anggota TNI-Polri dan istri-istri mereka untuk tidak mengundang penceramah radikal.

Jika dianalisa secara cepat, antara konteks dan konten dari pernyataan Jokowi itu, keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Agaknya akan banyak dan beragam analisis terkait dengan kedua hal tersebut. Beberapa diantaranya, misalnya, bahwa pernyataan Jokowi tentang disiplin TNI-Polri dapat dinilai sebagai upaya elit kekuasaan memuluskan isu penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan Presiden. Dengan melihat latar belakang historis TNI-Polri yang merupakan agen utama pemerintah Indonesia yang paling efektif mendisiplinkan masyarakat sejak Orde Baru, kita bisa menilai bahwa upaya pendisiplinan TNI-Polri oleh Jokowi erat terkait dengan tujuan untuk  mendisiplinkan masyarakat. Membungkam kritik dengan menggunakan kekuatan paksaan atau represi oleh institusi TNI-Polri, dari pengalaman tahun-tahun terakhir ini, merupakan  cara ampuh elit kekuasaan untuk memuluskan segala operasinya.

Baca Juga: Jokowi Sudah Layak Disandingkan dengan Pemimpin Korup di Dunia?

Analisis lainnya, misalnya, bahwa pernyataan terkait para penceramah radikal dapat dinilai merupakan upaya elit kekuasaan untuk menghadang populisme Islam yang kekuatannya semakin mengancam kekuasaan orang-orang dekat Presiden atau bahkan Presiden sendiri. Pengalaman beberapa tahun terakhir menunjukan bahwa pelabelan radikal merupakan cara ampuh elit kekuasan dalam menekan berbagai kritik dari kelompok di luar kekuasaan. Target utama dari pelabelan ini, apakah kita akan sepakat atau tidak, ialah kelompok yang awalnya dinamakan dengan gerakan 212. Kita dapat menduga bahwa target utamanya ialah membungkan penceramah dari kelompok ini yang kritik-kritiknya cenderung ditujukan pada kebijakan-kebijakan pemerintah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun, yang perlu diperhatikan bersama ialah bahwa terlepas dari benar atau tidak ada motif politik di balik pernyataan Jokowi itu, isu penceramah radikal itu berpotensi memicu dan memperkuat kembali pembelahan sosial-politik yang ada di masyarakat Indonesia yang mulai menguat sejak Pilgub DKI Jakarta, aksi-aksi 212, dan Pilpres 2019, yang sebagian besar melibatkan Jokowi. Situasinya semakin rumit dimana pasca pernyataan Jokowi tersebut diributkan, pada senin 7 maret 2022, BNPT merilis ciri-ciri penceramah radikal. Beberapa ciri-cirinya seperti mengajarkan ajaran yang anti Pancasila dan pro-ideologi khilafah internasional, menanamkan sikap anti pemerintah yang sah, memiliki pandangan antibudaya ataupun anti kearifan lokal.

Itu semua akan semakin memperkuat pembelahan, bahkan berbasis agama,  dalam masyarakat dimana satu kelompok akan menunding kelompok lain radikal sementara kelompoknya tidak radikal. Masyarakat menjadi saling curiga. Bahkan para ulama, yang mempunyai banyak pengikut, akan ikut terbelah. Ancaman wabah kebencian dalam masyarakat Indonesia dengan mengemukanya isu itu berpotensi akan semakin menguat. Sebagai pemimpin, Jokowi seharusnya sadar akan hal itu. Apalagi ia mengangkat isu itu dalam suasana ribut-ribut pemilu 2024. Isu itu berpotensi akan digiring kemana-mana dan berpotensi dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu yang tidak bertanggung jawab sebagai strategi politiknya.

Baca Juga: Indikator Jokowi Layak sebagai Nominator Presiden Terkorup Dunia, Apa saja Itu?

Selain itu, isu yang dimulai dari pernyataan Jokowi itu akan secara langsung menyakiti hati umat islam di Indonesia. Melabeli para penceramah - yang notabennya belajar dan memperdalam ilmu agama untuk kebutuhan umat - dengan label radikal sama halnya dengan melarang agama itu sendiri. Bagi mereka yang paham agama, mereka akan dengan mudah paham bahwa orang-orang yang mempelajari agamanya secara sungguh-sungguh dan mendalam, dengan mudah dan pasti akan masuk dalam kriteria radikal yang sudah dirumuskan pemerintah, yang juga sangat multi-tafsir itu. Pilihannya pada posisi apakah pro dan selalu mendukung kekuasaan atau kontra, tidak mengambil sikap, atau bahkan acuh tak acuh pada kekuasaan. Mereka yang ada dalam kategori pertama akan selamat, sementara yang ada dalam kategori kedua nasibnya ditentukan kebaikan pemerintah yang sedang berkuasa.

Penulis : Adam A. Bahar

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU