Tunda Vs Tetap Pemilu di Tahun 2024: Apa Relevansinya dengan Problem Demokrasi Indonesia?

author optikaid

- Pewarta

Kamis, 03 Mar 2022 15:32 WIB

Tunda Vs Tetap Pemilu di Tahun 2024: Apa Relevansinya dengan Problem Demokrasi Indonesia?

i

Tunda Vs Tetap Pemilu di Tahun 2024: Apa Relevansinya dengan Problem Demokrasi Indonesia?

[caption id="attachment_17616" align="alignnone" width="150"] Adam A Bahar (Kandidat Doktor Fisip Universitas Airlangga)[/caption]

Dalam beberapa hari terakhir, media massa di Indonesia ramai memberitakan pernyataan beberapa tokoh politik terkait pemilu 2024. Beberapa tokoh seperti Zulkifli Hasan, ketua umum PAN, Muhaimin Iskandar, Ketua umum PBB, Airlangga Hartanto, ketua umum partai Golkar, misalnya, menyatakan dukungannya agar pemilu 2024 ditunda, bahkan ditunda sampai dua tahun. Alasannya cukup beragam, tetapi pandemi dan masalah ekonomi menjadi dua isu utamanya.

Baca Juga: Pengamat Sebut Elektoral Demokrasi Indonesia Sedang Bermasalah!

Sementara tokoh lain, seperti Puan Maharani, Ketua DPR dari PDIP, La Nyala Mataliti, ketua DPD, menyatakan dan mendesak agar pemilu tetap dilaksankan di tahun 2024, sesuai jadwal yang ditentukan sebelumnya. Alasannya ialah karena secara konstitusianal pemilu seharunya dilaksanakan di tahun 2024, selain itu, jadwal ini dinilai sebelumnya telah disepakai bersama oleh pemerintah, DPR dan KPU.

Jika kita analisa secara cepat, pernyataan dari tokoh-tokoh politik tersebut bisa saja dinilai sebagai strategi politik mereka dalam mengahapi pilpres yang 2024 mendatang. Mereka yang menolak pilpres ditunda dapat dinilai bahwa merka sedang berupaya memframing citra para mereka di masyarakat bahwa mereka taat pada konstitusi sehingga layak dipertimbangkan masyarakat untuk dipilih. Sementara mereka yang yang mendukung pemilu ditunda dapat dinilai sebagai stategi politik mereka sebagai upaya mereka untuk mempersiapkan dirinya sehingga berpeluang maju dan terpilih dalam pilpres yg akan datang. Itu ribut-ribut ini semua dapat dinilai hanya sekedar settingan para elit politik sebagai strategi politik menjelang Pilpres 2024. Kiranya, ada banyak analisis lain yang dapat diberikan oleh pengamat terkait fenomena ini. Yang harus diperhatikan masyarakat yaitu bahwa pemilu ditunda atau tetap dilaksanakan di 2024, aktor-aktor / tokoh-tokoh yang bertarung tidak akan jauh berbeda.

Namun, isu pemilu ditunda atau tetap dilaksanakan di 2024 pada dasarnya tidak akan berpengaruh banyak bagi rakyat dan bagi demokrasi Indonesia. Bahkan isu ini dapat dikatakan "menyesatkan" karena tidak mempunyai substansi sama sekali.

Masalah utama demokrasi Indonesia saat ini jauh lebih penting dan urgen dari sekedar persoalan pemilu 2024 semata. Hampir seluruh pengamat politik sepakat bahwa saat ini demokrasi Indonesia sedang mengalami kemunduran atau regresi. Beberapa pengamat menyebutkan demokrasi Indonesia saat ini semakin condong ke arah illiberal. Indikator-indikator yang mengumuka sangat kompleks, beberapa diantaranya misalnya menguatnya polarisasi politik yang mendorong meningkatnya intoleransi dan menguatnya sektarianisme politik; merosotnya kebebasan sipil dimana pemerintah secara ketat menekan oposisi dan membatasi kritisisme, ancaman hukuman bagi mereka yang menghina presiden; disfungsi institusi elektoral dan representatif.

Baca Juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?

Dalam satu artikelnya yang berjudul Indonesias new despotism, Airlangga Pribadi menilai masalah regresi atau kecenderungan demokrasi Indonesia ke arah illiberal ini sangat erat terkait dengan new-despotism, yaitu suatu tipe pemerintahan yang diatur oleh penguasan yang ahli dalam memanipulasi dan mencampuri urusan kehidupan masyarakat, mengumpulkan dukungan mereka, dan memenangkan / mengambil hati masyarakat. New-despotisme dicirikan oleh kekayaan, dan ekspansi kekuasan eksekutif dengan mengontrol lembaga yudikatif dan merusak supremasi hukum, meskipun pemilu terus berlangsung dan mempertahankan perlindungan konstitusional yang berkaitan dengan pemisahan kekuasaan politik dan yudikatif serta kesetaraan warga negara di depan hukum. Menurutnya bahwa penggunaan instrumen hukum untuk menundukan supremasi hukum, penggunaan media mainstream dan media baru untuk memanipulasi opini pulik akhir-akhir ini semakin nyata dalam politik Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sayangnya, masalah-masalah demokrasi indonesia tersebut tidak banyak diperbincangkan terutama dalam media mainstream di Indonesia. Bahkan ketika foto Anis Baswedan sedang membaca buku "How democracie die" karangan Steven Levitsky dan Daniel Ziblat, framing yang diberikan jauh dari substansi buku itu, yang membicarakan kematian demokrasi yang juga sedang melanda Indonesia saat ini.

Menjelang pemilu 2024, wacana penguatan demokrasi yang saat ini dalam kondisi buruk perlu dikuatkan. Media sebagai instrumen penting dalam menjaga demokrasi perlu berada di garis terdepan. Harapannya para politisi dapat memahami dan mendiskusikan secara serius kondisi demokasi saat ini yang sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Harapan lebih lanjut bahwa elit yang terpilih ialah orang-orang yang mempunyai komitmen kuat untuk memperkuat demokrasi Indonesia dan menjadikan negara ini semakin dekat pada tujuan bangsa dan negara sebagaimana yg tertuang dalam alinea keempat UUD 1945. Apakah pemilu ditunda atau tetap dilaksanakan di 2024 wacana penguan demokrasi haruslah menjadi pertimbangan utama.

Baca Juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim

Penulis: Adam A Bahar (Kandidat Doktor Fisip Universitas Airlangga)

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU