Optika.id - Herlambang Wiratraman selaku Dewan Penasihat Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menjelaskan ada tiga hal yang melatarbelakangi terjadinya pengekangan kebabasan akademik di Indonesia.
Baca juga: Akar Masalah Struktural Hingga Kultural Perundungan Anak di Sekolah
Yang pertama adalah kampus di Indonesia merupakan refleksi dari struktur sosial tertentu yang mana tradisi dan budaya feodalisme di sektor pendidikan masih mengakar kuat.
Ketika feodalisme yang merupakan warisan dari rezim otoritarianisme Orde Baru tersebut masih mengakar di ranah perguruan tinggi, maka kampus tak ubahnya menjadi struktur sosial kuasa baru. Alhasil, kampus kerap mengendalikan informasi dan penanganan kasus tertentu sehingga represi terhadap mahasiswa atau orang-orang yang kritis masih terjadi.
Kedua, kebebasan akademik terancam ketika kampus berhadapan dengan kekuasaan. Salah satunya terlihat dari kebijakan hak suara Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) sebesar 35lam menetapkan rektor perguruan tinggi negeri, ucap Herlambang kepada Optika.id, Kamis (17/7/2023).
Kebijakan tersebut pada akhirnya berpengaruh terhadap relasi antara kampus dengan pemerintah dan akibatnya kampus menampilkan diri sebagai miniature dan representasi dari politik pemerintah itu sendiri.
"Nah, represi terjadi kepada mereka yang mengkritisi kebijakan pemerintah," jelas Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
Baca juga: Beberapa Catatan Untuk Kurikulum Merdeka Sebelum Resmi Jadi Kurikulum Nasional
Sementara itu yang ketiga adalah kebebasan akademik bisa terancam ketika berhubungan dan berhadapan dengan kelompok pelaku kekerasan. Misalnya, ketika kelompok penguasa melakukan represi dengan mengerahkan para preman. Hal ini, ujar Herlambang, kerap dijumpai pada diskusi-diskusi publik maupun akademik yang tiba-tiba dibubarkan, atau direpresi oleh segerombolan preman dengan dalih macam-macam.
"(Pengekangan kebebasan akademik) yangviolent actorsini biasanya berhubungan dengan isu. Entah isu stigma komunisme, orientasi seksual, atau dikaitkan dengan stigma bagian dari ISIS lah," jelas Herlambang.
Selain dari tiga hal di atas, menurut Herlambang masih ada beberapa alasan lain yang menjadi penyebab dari pengekangan kebebasan akademik. Terutama yang berkaitan dengan alasan keamanan negara dan segala dalih yang menyangkut keamanan negara. Misalnya saja, dikaitkan dengan isu separatisme Papua dan sejenisnya.
Baca juga: Polisi Intimidasi Rektor Demi Jokowi?
Maka dari itu, Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial FH UGM itu pun menilai bahwa tekanan terhadap kebebasan akademik tergantung pada situasi dan kondisinya. Seperti tergantung pada fluktuasi isu pada momen politik. Herlambang menyebut, isu-isu di tahun politik kerap menjadi bahan gorengan renyah dari banyak pihak. Sehingga bisa dilegitimasi dan direpresi. Misalnya saja, pada tahun 2015 2016 silam, ada serangan yang berkaitan dengan stigma komunisme yang kian menguat. Hal itu bertepatan dengan 50 tahun selepas terjadinya peristiwa 1965.
"Menjelang pemilu juga itu dikaitkan dengan relasi politiknya," cetus Herlambang.
Berdasarkan catatan KIKA, kasus pengekangan kebebasan akademik meningkat tiap tahunnya. Pada 2022, ada 43 aduan pengekangan kebebasan akademik yang masuk ke KIKA. Angka itu merupakan peningkatan dari 29 aduan pada 2021, sembilan aduan pada 2020, dan enam aduan pada 2019.
Editor : Pahlevi