Penaklukkan Mehmed II Yang Menyatukan Rivalitas Sosial Politik Bangsa Turki

author optikaid

- Pewarta

Senin, 30 Mei 2022 23:58 WIB

Penaklukkan Mehmed II Yang Menyatukan Rivalitas Sosial Politik Bangsa Turki

i

Penaklukkan Mehmed II yang menyatukan rivalitas sosial politik bangsa Turki

[caption id="attachment_14301" align="alignnone" width="150"] Ruby Kay[/caption]

Optika.id - 29 mei 1453 - 29 mei 2022. 569 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 29 mei 1453, Muhammad Al Fatih yang bergelar sultan Mehmed II berhasil merobohkan benteng Konstantinopel, sekaligus menjadi pertanda berakhirnya kekaisaran Romawi Timur.

Baca Juga: Dosen Universitas Islam Indonesia Hilang Ketika Pulang dari Aktivitas Mobilisasi Global di Norwegia

Pemerintahan yang semula bercorak Katholik ortodoks diganti dengan sistem kekhalifahan. Kota Konstantinopel pun berganti nama menjadi Istanbul. Gereja Hagia Sophia yang sudah berdiri dari abad ke-6 lalu dialihfungsikan sebagai masjid. Namun lukisan bunda Maria dan Yesus Kristus yang terletak diatas kubah hingga kini masih eksis. Jika ummat muslim menunaikan ibadah sholat berjamaah, maka lukisan tadi hanya ditutup sementara dengan tirai hingga prosesi sholat berakhir.

Dan kemarin, Recip Tayyib Erdogan hadir ditengah-tengah puluhan ribu massa yang tumpah ruah sambil mengibarkan bendera Turki. Suasana terasa sangat meriah, tua muda terlihat bersemangat. Penaklukkan Konstantinopel oleh Muhammad Al Fatih benar-benar menjadi kebanggaan tersendiri bagi rakyat Turki.

Momentum penaklukkan Konstantinopel oleh sultan Mehmed II itulah yang menyatukan segala friksi sosial politik yang terjadi di Turki saat ini. Negara yang terletak diselat Bosporus itu kondisi sosial politiknya mirip dengan Indonesia. Rivalitas antara kaum agamis dan sekuler mulai menghangat ketika Erdogan memenangkan pemilihan Presiden ditahun 2014 dengan persentase sebesar 52%.

Ditahun 2017, Turki melakukan referendum yang melahirkan perubahan terhadap konstitusi. Jabatan perdana menteri dihapus, Presiden diberi wewenang untuk menunjuk langsung pejabat publik seperti wakil presiden dan menteri, presiden dapat mengintervensi hukum dan punya otoritas untuk memberlakukan keadaan darurat.

Dengan privilege tersebut, oposisi yang berhaluan sekuler semakin lantang mengkritik setiap policy Erdogan. Namun di pemilihan presiden tahun 2018, pihak oposisi kembali menelan kekalahan. Erdogan naik jadi presiden setelah meraup suara sebanyak 52,5%.

See, dalam dua kali pemilihan Presiden, Erdogan tak pernah menang mutlak. Kisaran perolehan suaranya hanya 52%. Bahkan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) mesti menelan kekalahan saat pemilihan walikota Istanbul. Partai Rakyat Republik (CHP) yang merupakan partai warisan Kemal Pasha Attaturk itu justru berhasil memenangkan pemilihan walikota Istanbul dengan perolehan suara sebesar 54%.

AKP berhasil mengusung Erdogan sebagai Presiden. Namun dalam pemilihan walikota Istanbul dan Ankarra, CHP yang berkuasa. Hal ini menandakan terjadinya perimbangan kekuasaan di Turki. Tak ada partai yang bisa memenangkan Pemilu secara absolut. Tak ada capres yang bisa memperoleh suara diatas 70%.

Jika kita analogikan dengan peta perpolitikan di Indonesia, AKP bisa disebut sebagai PKS nya Turki yang kental mengusung politik religiusitas. Sedangkan CHP yang berhaluan sekuler mirip dengan PDIP. Dua kubu ini tentu punya karakter pemilih yang berbeda 180. AKP berupaya memasukkan unsur Islam dalam setiap kebijakannya. Sedangkan CHP berupaya mengembalikan nostalgia akan sekularisme yang digaungkan oleh founding father republik Turki, Kemal Pasha Attaturk.

Erdogan sendiri ketika berkuasa terbilang jeli melakukan kalkulasi politik. Hal yang paling utama, ia tak melakukan politik segregasi seperti yang dilakukan oleh Jokowi. Walau berasal dari partai berhaluan Islam, Erdogan lewat beberapa kebijakannya terlihat berupaya merangkul kaum sekuler. Ini tentu berbeda dengan Jokowi yang kebijakannya selama ini terlihat menjauh dari Islam. Salah satunya adalah membiarkan bahkan memelihara buzzer untuk melakukan psy war dengan kalangan muslim. Jokowi dan PDIP acapkali membuat regulasi yang tidak sesuai dengan keinginan kalangan religius.

Andai Jokowi berpolitik seperti Erdogan, tentu takkan ada friksi yang begitu tajam antara kubu religius (Islam) dan sekuler. Konflik pasti ada, namun tak sampai meruncing hingga menggerus rasa kebangsaan dan nasionalisme. Pancasila diklaim hanya milik kubu tertentu, sedangkan kalangan religius dituduh radikal, intoleran. Sejatinya yang macam begini tidak boleh dibiarkan oleh rezim Jokowi.

Baca Juga: Erdogan Konfirmasi Maju Pilpres Turki 2023

Tapi balik lagi, Jokowi memang tak punya kapasitas leadership seperti Erdogan. Presiden Turki dua periode itu membuat policy tegas terkait sistem moneter. Erdogan menggaungkan semangat anti riba, walau mata uang Lira terus terpuruk sejak ia berkuasa, ia kukuh tak mau menaikkan tingkat suku bunga karena bertabrakan dengan ajaran agamanya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Tak hanya itu, Erdogan jeli mengambil hati ummat Islam di Turki dan juga muslim diseluruh dunia. Ia kembali memfungsikan Hagia Sophia sebagai masjid. Erdogan getol membela Palestina, ia tak segan menghujat Israel didepan delegasi negara-negara anggota PBB. Semua kebijakan itu tentu mendapat kritik dari kaum sekuler Turki. Namun didukung penuh oleh mayoritas kalangan religi.

Tapi, tak selamanya policy Erdogan disukai oleh kalangan muslim konservatif. Erdogan menormalisasi hubungan Turki dengan Israel. Ia bahkan mengundang presiden Israel ke Ankarra untuk melakukan pertemuan empat mata. Hubungan ekonomi Turki - Israel juga mencapai puncaknya saat Erdogan berkuasa. Krisis gas didalam negeri berhasil diatasi akibat support dari Israel. Sebaliknya, Israel juga mendapat benefit secara sosial, politik dan ekonomi dari Turki. Negara zionis itu setidaknya kini bisa bernafas lega setelah Turki dan beberapa negara arab menormalisasi hubungan diplomatik.

Selain itu, walau berasal dari partai berhaluan religius, Erdogan tetap menghormati Kemal Pasha Attaturk sebagai bapak bangsa Turki modern. Erdogan sadar, jika Attaturk tak mengubah sistem pemerintahan menjadi republik, maka Turki saat ini akan berbentuk monarki. Ia yang cuma rakyat jelata takkan mungkin jadi presiden jika Turki masih menerapkan sistem monarki ala kekhalifahan Turki Ustmani.

Kaum sekuler yang semula sangat membenci Erdogan pun akhirnya mulai melunak. Erdogan tak seperti yang mereka bayangkan. Ternyata Erdogan dan AKP hanya ingin memasukkan beberapa unsur ajaran Islam dalam pemerintahannya. Contohnya ya perkara riba tadi.

Maka jangan heran jika kemarin rakyat Turki tumpah ruah memperingati hari penaklukkan Konstantinopel. Cebi dan kampret disana berkumpul jadi satu disebuah lapangan luas ditengah kota Istanbul. Semuanya tersenyum dan bersuka cita merayakan hari kemenangan sultan Mehmed II atas kekaisaran Romawi Timur. Saat Erdogan muncul, ia dielu-elukan oleh dua kubu yang selama ini sering bertikai dijejaring media sosial. Lupakan sejenak perkara inflasi dan nilai mata uang Lira yang terpuruk. Rakyat Turki optimis kalau kondisi ekonomi mereka bisa pulih kembali tanpa riba, tanpa perlu menaikkan nilai suku bunga, tapi dengan cara menggenjot ekspor keluar negeri.

Baca Juga: Politik Luar Negeri Erdogan yang Nyeleneh

Erdogan bisa merangkul lawan politik dengan membuat policy yang bikin pihak oposisi jatuh hati. Walau begitu, Erdogan juga dinilai oleh konstituennya sebagai leader yang konsisten dan punya prinsip. Memang tak semua nilai yang terkandung dalam ajaran Islam bisa Erdogan terapkan. Ia sadar pengaruh sekularisme telah mengakar sejak puluhan tahun silam. Namun percayalah, 100 tahun kedepan, orang akan tetap membicarakan Erdogan. Karena ia satu-satunya presiden diabad 21 yang bersikukuh melawan sistem riba.

Erdogan membuat starting point yang nyata, tak cuma sebatas retorika. Legacy yang ia canangkan saat ini akan diingat dan dilanjutkan oleh orang-orang Turki. Muhammad Al Fatih dihormati karena berhasil menaklukkan Konstantiopel. Kemal Pasha Attaturk menjadi simbol berdirinya Republik Turki. Dan Recip Tayyib Erdogan akan diingat sebagai pemimpin yang melawan sistem moneter internasional.

Bagaimana dengan Indonesia? Apakah dengan memperingati hari sumpah pemoeda atau proklamasi kemerdekaan RI kita bisa sejenak melupakan friksi sosial politik? Sepertinya dua hal itu belum cukup kuat untuk merekatkan kita sebagai sebuah bangsa. Semoga Indonesia tak menyusul jejak Yugoslavia. Berharap bangsa ini bisa bertahan hingga 500 tahun kedepan, semakin dewasa dalam menyikapi perbedaan.

Penulis: Ruby Kay
Editor: Aribowo

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU