Optika.id - Presidential Threshold (ambang batas pencalonan presiden) yang saat ini diterapkan dalam pemilihan umum sebesar 20 persen dianggap sudah tidak relevan.
Hal ini dikatakan oleh pakar hukum tata negara, Prof. Yusril Ihza Mahendra. Dia menjelaskan sejarah terjadinya Pemilihan Umum (pemilu) langsung.
Baca Juga: MK Hapus PT 20 persen, Surokim: MK Super Progresif!
"Tidak ada satu kalimat pun dalam Undang Undang Dasar 1945, baik dalam Pasa 6A ayat 2 maupun Pasal 22e UUD 1945 yang menyebutkan adanya ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold," kata Yusril Ihza Mahendra seperti dikutip Optika.id dalam diskusi bertajuk 'Begawan Hukum Bicara Presidential Threshold' secara virtual, Minggu (23/1/2022) malam.
Maksud dari Pasal 6A ayat 2, kata Yusril, pasangan calon presiden dan calon wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
Tidak semua parpol bisa menjadi peserta pemilu, hanya parpol yang dinyatakan memenuhi syarat verifikasi administrasi dan faktual oleh KPU yang bisa ikut pemilu dan mengajukan kandidat calon presiden dan wakil presiden.
"Kalau partai-partai tersebut sudah diumumkan sebagai peserta pemilu, maka partai itulah yang berhak mencalonkan calon presiden dan wakil presiden, baik sendiri maupun gabungan partai. Tidak ada bicara threshold," jelasnya.
Barulah pada Pemilu 2004 diterpakan threshold 4 persen, pemilu berjalan dengan baik dan tidak menghadirkan banyak calon.
"Pasal 22e jelas, Pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali. Dan waktu itu, daripada ribut threshold dan berpotensi membatasi paslon dan menjadi oligarki politik, kita berjuang supaya Pemilu dilakukan serentak," jelas juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini.
Baca Juga: Gugatan Partai Buruh Tentang Ambang Batas Presiden Ditolak MK
Saat itu, para pengusul berpandangan bahwa dengan digelarnya Pemilu Serentak, maka presidential threshold sudah tidak relevan untuk diterapkan. Namun sayang, logika tersebut justru seolah diputarbalikkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Alhasil, Pemilu digelar serentak namun tetap menggunakan threshold hasil Pemilu sebelumnya.
Bagi Yusril, hal ini pun tidak masuk akal. Sebab pemilik suara pada pemilu lima tahun akan berbeda dengan pemilik suara pada pemilu selanjutnya.
"Mungkin (pemilik suara sebelumnya) meninggal, dan ada yang baru-baru (pemilih baru). Namun diputarbalikkan lagi, (dalih MK) pemilih sudah tahu bahwa hasil Pemilu akan dipakai pada Pemilu berikutnya (sebagai syarat PT). Saya sudah kehabisan akal menghadapi MK. Ilmu saya sudah habis," pungkasnya kesal.
Baca Juga: Terkait "Presidential Threshold", Haedar Nashir: Saya Usul Diturunkan Agar Perbanyak Capres
Reporter: Amrizal
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi