MK Hapus PT 20 persen, Surokim: MK Super Progresif!

author Pahlevi

- Pewarta

Kamis, 02 Jan 2025 19:05 WIB

MK Hapus PT 20 persen, Surokim: MK Super Progresif!

Optika.id - Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menghapus ambang batas atau Presidential Threshold minimal 20 persen kursi DPR RI atau memperoleh 25 persen suara sah nasional di pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Pakar Komunikasi Politik Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Surokim Abdussalam mengapresiasi putusan MK tersebut.

MK super progresif! Pilpres akan sangat kompetitif dengan hadirnya banyak paslon. Sekaligus memukul telak kekuatan dan dominasi partai besar yang selama ini dominan dalam pegusulan pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden, kata Wakil Rektor 3 UTM ini pada Optika.id, Kamis (2/1/2025).

Baca Juga: Gugatan Partai Buruh Tentang Ambang Batas Presiden Ditolak MK

Secara substantif, kata Surokim, putusan ini sangat progfresif. Sekaligus secara teknis penyelengaraan pemilu akan kian kompleks dan tidak sesederhana yang dibayangkan

Bisa saja terjadi paslon yang diusung partai minoritas, partai kecil asal paslonnya kuat secara elektoral bisa memenangkan pilpres nanti, ngeri-ngeri sedap ini, kata Peneliti Senior Surabaya Survey Centre (SSC) ini.

Dengan dihapusnya PT 20 persen, kata Surokim, daulat publik benar-benar diberi ruang oleh MK, dan kuasa parpol besar dipreteli signifikan.

Selamat datang daulat publik dan selamat bersedih partai besar. Ngeri-ngeri sedap mas. Parpol besar bisa ngambek nggak ketulungan ini, merasa hasil pemilu nggak dihargai, semua sama punya kesempatan, katanya sembari tertawa renyah.

Pada Pilpres 2029 nanti, lanjutnya, parpol-parpol tanpa berkoalisi bisa mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

Bagaimanapun publik patut menyambut baik putusan ini, daulat publik dikembalikan dalam posisi semestinya. Beragam intrik, patgulipat, dominasi, darkzone parpol akan hilang dengan sendirinya dan kuasa parpol dalam pencalonan pilpres nggak lagi menentukan semua punya peluang yang sama, tukasnya.

DPR Hormati Putusan MK

Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda menegaskan pihaknya menghormati putusan MK tersebut.

"Kami menghormati menghargai putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus persentase presidential threshold sebagaimana dalam ketentuan undang-undang saat ini," kata Rifqinizamy dalam keterangannya, Kamis (2/1/2025).

Rifqinizamy mengatakan DPR akan menindaklanjuti putusan itu dengan pemerintah dalam membentuk norma baru di undang-undang (UU). "Selanjutnya tentu pemerintah dan DPR akan menindaklanjutinya dalam pembentukan norma baru di undang-undang terkait dengan persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden," katanya.

Rifqinizamy menilai putusan ini menjadi babak baru dalam demokrasi di Indonesia. Menurutnya, putusan itu bisa membuka lebih banyak pencalonan presiden dan wakil presiden ke depannya.

"Saya kira ini babak baru bagi demokrasi konstitusional kita, di mana peluang untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden bisa lebih terbuka diikuti dengan lebih banyak pasangan calon dengan ketentuan yang lebih terbuka. Apa pun itu, Mahkamah Konstitusi putusannya adalah final and binding karena itu kita menghormati dan kita berkewajiban untuk menindaklanjuti," kata Rifqinizamy.

Lebih lanjut, Rifqinizamy menyinggung rencana pembentukan sistem Omnibus Law Politik yang akan memasukkan UU Pemilu. Menurutnya, akan ada penyesuaian dalam UU Pemilu terkait putusan MK ini.

"Karena ada keinginan membentuk omnibus lawpolitik yang di dalamnya adalah juga terkait dengan UU Pemilu, maka ya dimasukin ke situ kalo memang kita menganut omnibus lawdilakukan," imbuhnya.

Golkar Terkejut

Baca Juga: Terkait "Presidential Threshold", Haedar Nashir: Saya Usul Diturunkan Agar Perbanyak Capres

Sekjen Partai Golkar Sarmuji mengaku terkejut atas putusan MK tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Keputusan MK sangat mengejutkan mengingat putusan MK terhadap 27 gugatan sebelumnya selalu menolak," kata Sarmuji dilansir detik.com, Kamis (2/1/2025).

Sarmuji mengungkit sudah banyak gugatan terhadap syarat presidential threshold yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Pemilu. Sebab, sebutnya, MK memandang syarat tersebut agar sistem presidensial dapat berjalan efektif.

"Dalam 27 kali putusannya cara pandang MK dan pembuat UU selalu sama yaitu maksud diterapkannya presidensial threshold itu untuk mendukung sistem presidensial bisa berjalan secara efektif," katanya.

MK Kabulkan Permohonan Seluruhnya 

Diketahui, putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo terkait perkara 62/PUU-XXI/2023 di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2024). MK mengabulkan seluruhnya permohonan tersebut.

"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Suhartoyo.

Menurut MK, kata dia, Pasal 222 yang mengatur terkait persyaratan ambang batas pencalonan capres-cawapres hanya dapat dicalonkan oleh parpol dengan minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," tegas Suhartoyo.
Sebagai informasi, putusan tersebut dibacakan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024.

Baca Juga: Kembali Tolak Permohonan Uji Materi Presidential Threshold, MK: Kewenangan di Tangan DPR

Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah telah mencermati beberapa pemilihan presiden dan wakil presiden yang selama ini didominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Hal ini berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Selain itu, Mahkamah juga menilai bahwa dengan terus mempertahankan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dan setelah mempelajari secara saksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon.

Padahal, lanjut Mahkamah, pengalaman sejak penyelenggaraan pemilihan langsung menunjukkan, dengan hanya 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi (masyarakat yang terbelah) yang sekiranya tidak diantisipasi mengancam kebhinekaan Indonesia.

Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal. Kecenderungan demikian, paling tidak dapat dilihat dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong.

Artinya, menurut Mahkamah, membiarkan atau mempertahankan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu berpeluang atau berpotensi terhalangnya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi, sebut Saldi.

Diketahui, uji materi itu akhirnya dikabulkan MK setelah diuji sebanyak 27 kali dengan lima amar putusan ditolak dan sisanya tidak dapat diterima.

Sebelumnya, Pegiat Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini menyampaikan permohonan terkait pengujian ambang batas pencalonan presiden (Pasal 222 UU 7/2017) Perkara No.101/PUU-XXII/2024 merupakan perjuangan panjang setelah dua permohonan sebelumnya ditolak MK.
Dia berharap semoga putusan atas permohonan kali ini menjadi sejarah baik akan tercipta di awal tahun 2025. Putuan MK pun menjadi kado tahun baru bagi demokrasi di Indonesia!

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU