Dihapusnya PT 20%, Azis: Semoga Parpol Akhiri Phobia Persaingan yang Fair dalam Pilpres

author Pahlevi

- Pewarta

Jumat, 03 Jan 2025 04:36 WIB

Dihapusnya PT 20%, Azis: Semoga Parpol Akhiri Phobia Persaingan yang Fair dalam Pilpres

Optika.id - Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menghapus ambang batas atau Presidential Threshold minimal 20 persen kursi DPR RI atau memperoleh 25 persen suara sah nasional di pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Dr Abdul Aziz, SR, pengamat politik Universitas Brawijaya (UB) Malang mengatakan dengan putusan MK tersebut mudah-mudahan segera mengakhiri sikap phobia partai politik terhadap prinsip persaingan yang fair dalam Pemilihan Presiden (Pilpres).

PT 20% yang diberlakukan selama ini sangat membelenggu dan membingungkan. Tidak jekas asal-usulnya, tiba-tiba dihadirkan sebagai hantu yang merusak demokrasi. PT 20% sekaligus pertanda ada ketakutan (dari partai-partai besar) untuk berkompetisi secara sehat. Bukankah salah satu prinsip penting demokrasi adalah kompetisi? kata dosen FISIP UB ini pada Optika.id, Jumat (3/1/2025).

Baca Juga: Pengamat Politik: Prabowo Membentuk Kabinet Lawang Sewu

Mengapa baru sekarang MK mengabulkannya? Bukankah sudah berulang kali ada permohonan judicial review terhadap PT 20% itu? tambahnya.

Sudah awal disadari PT 20% itu, lanjut Azis, hanyalah akal-akalan partai besar waktu itu yang tidak ingin banyak kandidat dan banyak pesaing dalam pemilihan presiden.

Tapi, oke sajalah. Putusan patut MK itu patut diapresiasi. Ia memberi harapan bagi kehadiran pemilu (pilpres) yang lebih demokratis serta memberi ruang yang lebih luas kepada partai-partai untuk mengajukan calon presiden. Yakin saja, semakin banyak calon semakin banyak pilihan, dan itu semakin baik, tegas dosen asli Nusa Tenggara Barat ini.

Pemerintah Hormati Putusan MK

Sementara itu, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden 20% atau presidential threshold. Supratman akan mempelajari putusan itu.

"Pemerintah tentu menghargai putusan tersebut, dan kami akan pelajari terkait dengan semua putusannya. Tapi di lain sisi nanti pemerintah tentu akan koordinasi terkait hal tersebut, karena di putusan walaupun saya belum baca lengkap kan MK tidak menyatakan bahwa kapan diberlakukan, pemberlakuannya kapan, apakah 2029 atau 2034, karena itu nanti kami tetap berpandangan bahwa putusan MK itu bersifat final dan mengikat," kata Supratman dalam keterangannya, Kamis (2/1/2025).

Supratman menegaskan putusan MK sudah final. Pihaknya juga berkoordinasi dengan KPU.

Tapi apa pun keputusan MK karena sifatnya final dan binding, kami akan mengkaji, melakukan kajian kapan mulai berlakunya, nah MK saya lihat belum memutuskan itu," ujarnya.

"Karena itu, nanti pemerintah termasuk kami kementerian hukum dengan Kemendagri, kemudian nanti kami akan komunikasikan dengan penyelenggara pemilu. Karena nanti kan pada akhirnya kalau terkait dengan pelaksanaan pemilu kan akan ada suatu perubahan terkait undang-undangnya, kedua juga PKPU-nya, nah itu semua akan diselaraskan," lanjutnya.

Supratman menambahkan setiap keputusan akan membawa dampak pada sistem demokrasi. Sekali lagi ia menyatakan pemerintah saat ini dalam posisi menghormati putusan tersebut karena bersifat final dan mengikat.

"Saya belum bisa menyatakan bahwa apakah itu positif atau tidak karena kan setiap sebuah keputusan yang diambil pasti ada dampak terhadap proses demokratisasi kita. Secara umum bahwa pemerintah, terutama kementerian hukum, menganggap keputusan itu harus kita hormati, pemerintah dalam posisi menghargai putusan tersebut," ujarnya.

Kaderisasi Parpol

Selain itu, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Sultan B. Najamudin mengemukakan putusan MK tersebut memberi perhatian pada proses kaderisasi partai politik.

Menurutnya, keputusan tersebut sesuai dengan harapan dan keinginan rakyat bahwa proses politik kandidat calon presiden dan calon wakil presiden perlu dilakukan secara terencana, terbuka, dan bebas oleh setiap partai politik.

"Dengan ketetapan nol persen, setiap partai akan semakin memberikan perhatian pada proses kaderisasi karena sudah menjadi kewajiban partai politik untuk menyiapkan kader terbaiknya sebagai bakal calon pemimpin nasional," kata Sultan dalam keterangannya, Jumat (3/1/2025).

Untuk itu, dia mengapresiasi putusan MK tersebut sebab membuka peluang bagi semua putra-putri terbaik bangsa maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.

Baca Juga: Gugatan Partai Buruh Tentang Ambang Batas Presiden Ditolak MK

"Kami atas nama lembaga DPD termasuk menjadi pihak yang menggugat Pasal 222 Undang-Undang 7 Tahun 2017 itu ke MK, namun gugatan puluhan pihak penggugat ditolak oleh MK saat itu," ujarnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Meski ambang batas pencalonan presiden dihapuskan, Sultan mengingatkan proses pilpres harus tetap dilaksanakan secara efisien dan efektif agar tidak perlu digelar lebih dari satu kali, serta meningkatkan legitimasi politik pemimpin nasional yang terpilih.

Dia juga berharap tanpa adanya ketentuan presidential threshold maka budaya musyawarah pengusulan calon presiden di MPR kembali dihidupkan guna terjadi pembentukan maksimal dua poros kekuatan politik pengusung capres-cawapres.

Selain itu, dia juga meminta agar waktu pelaksanaan pilpres dan pileg perlu kembali dilakukan secara terpisah, yakni pemilihan legislatif (pileg) terlebih dahulu, baru setelahnya pemilihan presiden (pilpres).

Amar Putusan MK

Diketahui, Mahkamah Konstitusi menghapus ambang batas atau presidential threshold minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional di pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.

MK menyatakan semua partai politik peserta pemilu memiliki kesempatan untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo terkait perkara 62/PUU-XXI/2023 di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1). MK mengabulkan seluruhnya permohonan tersebut.

"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Suhartoyo

Baca Juga: Terkait "Presidential Threshold", Haedar Nashir: Saya Usul Diturunkan Agar Perbanyak Capres

Dalam amar putusan tersebut, MK juga meminta pembuat undang-undang, DPR dan pemerintah untuk melakukan rekayasa melalui revisi UU Pemilu agar pasangan calon presiden dan wakil presiden di pilpres mendatang tetap dengan jumlah yang proporsional.

"Dalam revisi Undang-Undang Pemilu, pembentuk undang-undang dapat mengatur agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak sehingga berpotensi merusak hakikat dilaksanakannya pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat," kata Wakil Ketua MK Saldi Isra saat sidang putusan uji materil terkait di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

5 Pedoman dari MK

Saldi memastikan MK akan memberi pedoman terhadap pembentuk undang-undang, yaitu satu, partai politik yang berhak mengusulkan calon presiden dan wakil presiden adalah mereka yang sah menjadi peserta pemilu.

Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

"Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih," jelas Saldi.

Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.

"Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan Undang-Undang Pemilu melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaran pemilutermasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna atau meaningful participation," pungkasnya.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU