Andi Mallarangeng tentang Rezim Jatuh Sebelum 2024? Janganlah

author optikaid

- Pewarta

Kamis, 10 Feb 2022 19:24 WIB

Andi Mallarangeng tentang Rezim Jatuh Sebelum 2024? Janganlah

i

Andi Mallarangeng tentang Rezim Jatuh Sebelum 2024? Janganlah

Pada Kamis (10/02/2022) Optika.id berkesempatan mewawancarai Andi Mallarangeng, ilmuwan politik dari Northerm Illiois University, Dekalb, Illinois, Amerika Serikat. Politisi Partai Demokrat dan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga 2009-2012 di Era Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Wawancara dilakukan lewat WhatsApp ini membahas tentang Demokrasi Indonesia dan kondisi pemerintahan saat ini. Wawancara Ekslusif dengan Andi Mallarangeng tentang Demokrasi dan Rezim, Saat ini

Berikut wawancaranya:

Baca Juga: Pengamat Sebut Elektoral Demokrasi Indonesia Sedang Bermasalah!

Selamat pagi Pak Andi. Kami masih percaya Anda masih punya ketajaman akademisi untuk menganalisis keadaan dan perilaku rezim Joko Widodo (Jokowi) saat ini. Apalagi Anda juga pernah menjadi Menteri dan orang dekat rezim SBY sehingga berbagai pola kekuasaan negara bisa Anda pahami dengan baik. Saat ini banyak yang mengatakan kondisi demokrasi Indonesia sedang merosot. Apa sebabnya hal itu bisa terjadi?

Selamat pagi, untuk pertanyaan ini intinya adalah, saya melihatnya memang ada kemerosotan demokrasi dan ini dikonfirmasi oleh pengamat-pengamat dari luar negeri. Ada banyak sekali salah satunya dari Australia. Begitu juga ahli-ahli politik dari Eropa dan Amerika Serikat.

Intinya barangkali adalah cara rezim atau Pemerintah sekarang ini untuk menggunakan kekuatan prosedural demokrasi yang dimiliki, dalam hal ini adalah koalisi yang besar yang mendukung pemerintahan ini,untuk memaksakan kehendaknya terhadap berbagai macam isu isu kebijakan yang walaupun sebenarnya tidak didukung oleh rakyat.

Contoh apakah itu isu Undang Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law), apakah itu membiarkan, misalnya, seperti isu massa jabatan presiden menjadi 3 periode, atau perpanjang masa jabatan dengan tambahan 3 tahun. Dan orang orang yang mengangkat isu semacam itu tidak diberi sanksi tapi di biarkan semacam itu.

Sehingga, itu memang menjadi concern banyak orang yang melihat bahwa rezim ini menggunakan koalisi pemerintahan yang besar, sehingga boleh dikata 2/3 dari MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), kalau berbicara tentang amandemen Konstitusi, hubungan Konstitusi dengan masa jabatan presiden misal itu bisa dilakukan karena sudah mencapai 2/3. Artinya kekuasaan pemerintahan itu tambahan 2 atau 3 kursi saja dari DPD (Dewan Perwakilan Daerah) itu sudah mendapatkan 2/3 kursi di MPR.

Juga misalnya seperti kasus upaya pengambilalihan Partai Demokrat secara paksa, dengan orang berada di lingkaran utama di samping presiden. Di dunia demokrasi maju hampir kita lihat tidak ada hal-hal semacam ini bisa terjadi. Artinya orang luar, dan orang itu berada di lingkaran kekuasaan, dibiarkan untuk berupaya mengambil alih secara paksa partai yang beroposisi, yang kalau partai itu bisa di ambil alih otomatis dia beralih dari partai oposisi menjadi partai pendukung pemerintah.

Mungkin ini yang memperlihatkan, gejala-gejala semacam itu membuat lingkaran yang tidak sehat dalam proses demokrasi di Indonesia. Demokrasi bukan hanya secara prosedural, karena itu kita tidak bisa menjadikan demokrasi menjadi semacam tirani mayoritas tapi, tapi juga menjadi diktator mayoritas

Apakah format kekuasaan rezim presiden Jokowi saat ini?

Secara prosedural masih menggunakan format demokrasi, hanya saja Praktek  kekuasaanya seperti menggunakan demokrasi itu tapi dengan melakukan memaksakan kehendaknya tanpa melihat nilai-nilai lebih tinggi dari demokrasi itu sendiri.

Contoh kasus misalnya sekali lagi Omnibus Law, kalau kita lihat dilakukan secara prosedural tetapi itu kan kemudian akhirnya memaksakan seperti terburu buru tanpa mendengarkan pihak manapun. Seperti Buldoser, ini pun akhirnya muncul dalam Undang Undang tentang Ibu Kota Negara. Ini kita lihat juga hampir tidak ada diskusi yang meluas, tidak ada sosialisasi. Lalu kemudian proses di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) juga dilakukan secara prosedural dari tahap tahapan, tapi begitu terburu buru sehingga kita tidak tahu misalnya dia punya landasan akademisnya bagaimana, kita tidak tahu tidak pernah kita diskusikan.

Sehingga kita menjudgmentnya pun kita tidak tau, blueprintnya pun kita tidak tau, blueprint Ibukota negara itu bagaimana, tiba-tiba disetujui, pendanaanya bagaimana. Macam-macam kita tidak tahu, Amdalnya juga tidak jelas, tapi kemudian di paksakan dengan suara mayoritas, saya tidak tahu bagaimana partai-partai koalisi semuanya manut-manut saja gitu lho.

Kita juga pernah berkuasa, bersama pak SBY, tetapi justru kritikan yang paling keras juga datang dari koalisi itu sendiri. Sering kali ketika diskusi juga, walaupun itu dilakukan rapat DPR misal. Itu yang tidak terjadi di format rezim Presiden Jokowi.

Bagaimana prosesnya sehingga rezim saat ini mencapai format kekuasaan seperti sekarang?

Memang dimulai dengan proses pembentukan koalisi. Pembentukan koalisi itu walaupun awalnya kita pikir pak Jokowi tidak memiliki kekuatan yang besar. Hal ini bisa kita lihat misalnya partainya sendiri yaitu PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan)  awalnya menganggap Jokowi hanya sebatas petugas partai.

Tetapi kita lihat belakangan dengan melakukan rekrutmen-rekrutmen orang-orang yang justru memberi imbangan kepada PDIP. Contoh apakah itu orang seperti Luhut, Moeldoko, dan kemudian berhasil secara penuh menguasai atau mengontrol tentara dan polisi, dan kemudian menjadi instrumen-instrumen yang kuat di dalam proses. Dan bagaimana kemudian kontrol terhadap partai-partai koalisi baik di kabinet maupun di DPR.

Baca Juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?

Sehingga kita lihat perlahan pada masa jabatan kedua ini, pak Jokowi boleh dikata menjadi presiden yang punya kekuasaan yang begitu besar bahkan bisa lebih dari partainya itu sendiri yaitu PDIP. Nah kontrol terhadap koalisi ini sangat kuat, sehingga bisa melakukan apa saja, kebijakan apa saja yang kemudian di backup secara penuh oleh koalisi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Hampir tidak pernah kita lihat ada keretakan dalam koalisi paling tidak sampai sekarang ini, didalam berbagai macam isu tersebut. Suara koalisi sering kali bulat bahkan dalam isu-isu yang krusial walaupun mungkin, ketika menjelang pemilu 2024 tentu saja koalisi ini akan menjadi bermasalah, atau kita tidak tahu secara tepat akan bagaimana ketika muncul koalisi baru menjelang pemilu 2024.

Dan koalisi-koalisi baru menjelang 2024 itu tidak sama dengan sekarang karena calon-calon presidennya bisa berbeda dengan yang sekarang. Nah, dari situ kita lihat sebagai politisi,yang melakukan akuisisi kekuasaan atau akuisisi of power. Pak Jokowi itu sangat piawai dan menggunakan instrumen-instrumen yang dia punya untuk kalau kita pikir pikir, politik yang dia punya adalah who, get whats,  and why kemudian how to make people follow brightwhite you want, artinya bagaimana kita memastikan agar supaya orang akan mengikuti apa yang kita mau, politik itu semacam itu.

Itu lak Jokowi seperti itu, dan kalau saya lihat itu merupakan hal yang luar biasa, tapi apakah itu kemudian cocok dengan nilai-nilai demokrasi, lha itu menjadi problematik.

Apa saja kekuatan Sosio-Ekonomi yang membackup rezim Jokowi? Apakah ada bedanya rezim Jokowi yang sekarang dengan rezim kepemimpinan era Soeharto saat Orde baru?

Pertama secara politik itu tadi partai-partai koalisi pemerintah ,tapi kemudian juga tentu saja kalu kita lihat proses Omnibus Law itu, di situ keterlibatan Kadin dan dunia usaha sangat nyata. Memang Omnibus Law sangat-sangat berat sebelah kepada pengusaha, tampaknya itu yang secara kita lihat bahwa mungkin karena pak Jokowi datang dari dunia usaha. Sehingga itu yang digunakan betul oleh rezim ini untuk memuluskan kerja kerja kekuasaan itulah kira-kira.

Tentu saja kita juga melihat bahwa presiden dengan piawai menggunakan orang-orang dekat yang berlatar belakang militer, dan tentu saja orang-orang kepercayaannya di posisi-posisi puncak militer membuat dia juga bisa menguasai tentara dan juga polisi secara efektif, sehingga saya kalau ada yang bicara mengenai bahwa apakah, seperti komentar Faisal Basri apakah presiden secara moral ambruk sebelum 2024. Saya tidak melihat tanda-tanda itu, dan saya rasa , saya tidak melihat ada tanda-tanda bahwa presiden Jokowi akan jatuh sebelum 2024.

Memang seharusnya tidak jatuh dan akan menyelesaikan masa jabatanya sesuai dengan aturan konstitusi. Dan itu lebih sehat bagi demokrasi kita bagi negeri kita, karena itu saya berfikir apakah dia akan seterusnya efektif terutama dengan 2 tahun terakhir lha itu yang saya fikir menjadi pertanyaan besar.

Misalnya ekonomi kita boleh dikata sedang susah, lalu kemudian defisit naik terus di atas 3% yang semuanya angka standar bagi sebuah ekonomi sehat. Hutang nambah terus sementara proyek besar seperti Ibu Kota Negara, dan kereta cepat, segala macam. Itu terus akan membutuhkan suntikan dana yang tidak jelas darimana nanti datangnya. Apakah itu hutang atau dari Asing.

Baca Juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim

Hal tersebut menjadi persoalan yang ke depan tentu saja membuat efektifitas pemerintahan menjadi tidak efektif, tentu saja menjadi berkurang kemudian dalam mendekati masa-masa akhir pemerintahannya tidak efektif dan rakyat dan sebagian orang sudah memikirkan pemilu baru, presiden baru, dan sebagainya. Kecuali kemudian terakhir-terakhir di paksakan adanya amandemen Konstitusi untuk itu, misal untuk memperpanjang masa jabatan. Tapi kalau tidak saya kuatir alih-alih membuat legacy atau warisan di pemerintahan pak Jokowi, tapi justru menimbulkan masalah-masalah baru seperti ibukota negara, kereta cepat dan macam-macam lagi seperti utang luar negeri yang semakin besar.

Atau mungkin saja seperti masalah keterlibatan pihak asing dalam proses pendanaan dalam negeri yang makin besar itu juga menjadi masalah

Apa bedanya rezim Jokowi dan Soeharto jaman Orde baru?

Jelas tentu saja jaman Orde Baru tidak menggunakan instrumen demokrasi itu jelas. Kalau presiden Jokowi tetap menggunakan format demokrasi. Tinggal apakah kemudian orang membandingkan apakah ini ada bedanya, dalam konteks ketika memaksakan kehendak dalam menggunakan instrumen demokrasi, bagi saya tetap berbeda. Demokrasi memberi peluang orang untuk mengatakan tidak atau memberikan kritik secara terbuka, memberikan kesempatan menjadi oposisi di Parlemen. Hal itu tentu saja tidak ada di jaman Soeharto.

Namun apakah demikian kalau ada perasaan-perasaan kok sama seperti jaman Soeharto, mungkin kita merasa bahwa seperti sidang paripurna di Parlemen, dimana pihak oposisi mic nya di matikan, teman-teman dari Partai Demokrat yang ingin bicara menyampaikan pesan-pesan terakhir, dalam Undang-Undang Omnibus Law ini kan mengingatkan kita pada jaman Soeharto dulu. Orang yang mau interupsi saja kemudian di bungkam suaranya dan sebagainya.

Tapi tetap saja, tentu saja berbeda dengan jaman Soeharto. Hanya saja mungkin jadi peringatan agar supaya kita jangan sampai kembali ke era Soeharto, kalau kemudian memperpanjang masa jabatan presiden dan sebagainya, lha itu yang membuat kita teringat bukan hanya jaman Soeharto, tapi juga jaman Bung Karno. Ketika ada isu presiden seumur hidup, waktu itu presiden yang diangkat sebagai seumur hidup, itu jangan sampai, dan mudah-mudahan tidak.

Editor Aribowo

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU