Oleh: Achmad Surya Hadi Kusuma (Ketua Umum Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam Jawa Timur)
Baca juga: Jawa Timur Pasca Kanjuruhan, Butuh Kapolda Paham Budaya
Optika.id - Bicara mengenai partai politik (parpol) di Indonesia, mungkin masyarakat akan mengingat hanya satu momen: pemilihan umum (pemilu) yang diselenggarakan selama lima tahun sekali.
Pada saat itulah, atau mungkin masa menuju pemilulah, parpol terlihat hidup dengan segala balihonya. Beberapa dari kita mungkin terkejut dengan wajah-wajah yang dipampang karena banyak pula yang tidak dikenal, bahkan mungkin tidak peduli siapa mereka selama ada serangan fajar semua urusan selesai.
Apa yang terjadi pada masa sekarang sangat berbeda dengan para masa dahulu, seperti Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru. Banyak studi mengenai Demokrasi Liberal menunjukkan bahwa partai politik memiliki kekuasaan yang kuat baik di parlemen maupun kabinet.
Kajian yang dibawa oleh Herbert Feith dalam karyanya The Decline of Constitutional Democracy menjelaskan adanya dua jenis kepemimpinan para era revolusioner itu, yakni solidarity maker dan administrator.
Masing-masing menghasilkan anggota parpol dengan tugas pokok dan fungsi yang berbeda, di mana agitasi dan propaganda dilakukan oleh solidarity maker sementara administrator berbicara mengenai mekanisme berjalannya partai.
Seperti yang diperlihatkan oleh Jose Eliseo Rocamora dalam karyanya Nasionalisme Mencari Ideologi, pada parpol semacam Partai Nasional Indonesia (PNI) sekalipun memiliki dua kubu utama. Mereka yang berpihak kepada Sidik Djojosukarto yang mayoritas berbentuk solidarity maker, dan tim yang berdiri di belakang Wilopo, seorang administrator ulung yang dekat dengan Partai Masyumi.
Hal ini juga berlaku kepada Partai Masyumi, yang mana ada pihaknya Mohammad Natsir yang bergaya solidarity maker dan Sukiman Wiryosanjoyo yang bernada administrator. Pada era itu, parpol dapat melahirkan tokoh yang mampu mengelola partai dengan baik dengan program yang jelas karena berpegang pada ideologi, sehingga politik tidak diartikan sebagai aktivitas transaksional belaka layaknya di pasar.
Fungsi parpol sebagai mesin politik yang kuat ini mengalami kemunduran semenjak Demokrasi Terpimpin, di mana Presiden Sukarno memiliki kekuatan eksekutif yang tidak penah dipegang oleh tokoh politik manapun sebelumnya. Sukarno membubarkan sejumlah partai yang dianggap melawan kepentingan nasional ketika transisi dari Demokrasi Liberal ke Demokrasi Terpimpin.
Ini kenapa Daniel Saul Lev menyebutkan bahwa Demokrasi Terpimpin secara eksplisit bersifat otoriter dalam bukunya The Transition to Guided Democracy. Pada era ini, politik dikuasai oleh tiga pihak utama: Sukarno, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dengan jatuhnya Sukarno digantikan oleh Suharto, demokrasi nampaknya menghilang, semua tatanan yang awalnya bersifat politis terbuka kembali kepada masalah untung-rugi untuk militer dan para politisi yang sebelumnya bersinar di Orde Lama digantikan oleh teknokrat semacam Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana atau Emil Salim, sehingga administrator lebih dominan ketimbang solidarity maker. Tak banyak yang bisa dibicarakan mengenai parpol pada masa ini karena ada penyederhanaan partai menjadi dua pihak yakni Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) serta Golongan Karya (Golkar) sebagai kendaraan penguasa.
Ketika krisis ekonomi melanda Asia Tenggara, Indonesia adalah salah satu yang terkena dampaknya.
Baca juga: Di Mana Peran Negara di Kanjuruhan?
Demonstrasi terjadi di sejumlah tempat, dari daerah sampai ke pusat, sehingga Suharto terpaksa harus mengundurkan diri dari posisinya dan gerakan untuk demokratisasi Indonesia semakin menyebar. Muncul sejumlah besar parpol yang terlibat dalam pemilihan umum, namun hanya segelintir yang bertahan. Pada masa pasca-Reformasi, parpol di Indonesia lebih seperti sekedar mesin pemenangan untuk melegalkan seseorang agar bisa berkontestasi.
Seperti Partai Demokrat yang baru saja muncul tapi bisa memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden Republik Indonesia keenam.
Pada masa kontemporer, parpol tidak lagi bertarung atas dasar ideologis, namun lebih kepada permasalahan jumlah kursi yang didapat sebagai akibat dari sistem proporsional terbuka, sehingga para konstituennya bisa memilih langsung wakilnya, baik di daerah maupun di Senayan.
Maka dari itu, perlu ditimbang ulang fungsi dari parpol apabila hanya aktif selama lima tahun sekali untuk mempersiapkan diri pada pemilu.
Tidak terlihat program kerja partai secara jelas, adapun program ditujukan hanya untuk anggotanya atau untuk menarik lebih banyak calon anggota, sehingga model partai kader mulai berkurang dan menjamurnya partai massa yang bertujuan mendapatkan posisi sebanyak mungkin baik di parlemen maupun kabinet.
Sekarang, kita akan mengetahui partai yang ada hanya melalui pemberitaan apabila para fungsionaris atau petugas partai memberikan pernyataan, entah untuk membela partai atau mengomentari tentang fenomena sosial yang sedang terjadi di Indonesia.
Baca juga: Gurita Oligarki Bisnis dalam Kepentingan Politik Nasional
Petugas partai sendiri fungsinya hanya sekedar penggembira, sementara strategi parpol seringkali dibentuk oleh para konsultan politik yang sedang naik daun seperti Charta Politika, Lingkar Survei Indonesia, Saiful Mujani Research and Consultancy dan sejenisnya, sehingga nama mereka yang kerap kali muncul juga apabila ada permasalahan yang berkaitan dengan pemilihan umum.
Hasil penelitian yang mereka laksanakan adalah alat untuk membentuk persepsi publik yang menutupi peranan partai dalam dunia politik.
Partai pun jarang menggunakan sistem menarik perwakilannya dalam kabinet (recall) untuk menunjukkan kekuatan politiknya, berbeda dengan era Demokrasi Liberal yang mana seorang menteri bisa saja ditarik oleh partai dari posisinya sebagai wujud penarikan dukungan terhadap kabinet yang ada. Sekarang, partai justru berbondong-bondong mempertahankan posisi menteri yang sudah didapat agar tidak terkena reshuffle.
Parpol hanya sebagai pengepul atau makelar politik agar seseorang dapat mencapai posisi tertentu, pada akhirnya partai tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk memaksakan kesepakatan partai kepada para individu di dalamnya sehingga membentuk iklim politik yang bersifat transaksional dan oportunis, bukan lagi sekedar pragmatis.
Di manakah posisi partai pada era demokratisasi abad ke-21? ebih tepatnya hanya sebagai penyalur sumber daya manusia atau sebagai pintu gerbang masuknya para politisi yang tidak berposisi untuk mencapai jabatan dan selanjutnya, akses tertentu.
Partai sekarang memang pantas disebut ghoib, bukan berarti mereka tidak ada, tapi mereka tak kasat mata, ada tapi tak terlihat, karena program kerja baru gencar-gencarnya dilaksanakan ketika mendekati masa pemilihan, bukan sebuah aktivitas berkelanjutan yang berusaha membentuk dampak jangka panjang.
Editor : Pahlevi